Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2015

Kereta, Gigi dan Cinta

Suatu siang di kereta Aku membetulkan letak kacamataku, menatap layar ponsel dengan serius. Tangan kananku menggenggam cakwe pemberian Aci di stasiun Gambir satu jam yang lalu.  Baru setengah jam kereta yang kutumpangi melaju, hatiku seolah telah berjalan ratusan kilometer lebih jauh dari jarak yang telah tertempuh.  Aku membaca ulang percakapanku dengan Aci di bbm dua hari yang lalu.  "Aku kalo jatuh cinta milih-milih juga lah Gil, ga sembarang orang. Cuma orang istimewa dong yang bisa dapet cinta nya aku hahaha"  Aku berhenti lama pada bagian itu. masih belum percaya, wanita yang membuatku rela menghabiskan dua tahun hidupku untuk menjadi sosok teman yang selalu ada, berbagi cerita, tawa, rasa dan air mata, kini telah jatuh cinta pada sosok pria istimewa (katanya), tapi itu bukan aku, bukan Agil atau Ragil Prasetya.  Mukutku masih terus mengunyah cakwe, mataku tetap awas mengamati tiap baris kalimat dalam pesan bbm dari Aci.  "Aaah sial..."

Kacamata

Dua pasang mata  menatap pantai lepas, memandang ke arah laut luas. Melihat laut dan langit menyatu seolah tanpa batas. Aha tapi ada yang berbeda dari Agil hari ini.  "Agil, kacamatamu kenapa di lepas? Pake ayo pake"  Aci mencoba memasangkan kacamata ke muka Agil, sembarang. Hingga salah satu gagang kacamata itu mencolok mata sayu Agil.  Aci tertawa girang melihat Agil menolak dan meringis kesakitan.  "Kamu kenapa sih? Pake dong. Mata silinder dan minus mu itu tak akan mampu menangkap keindahan semesta tanpa benda ajaib ini. Huuhh"  Aci masih saja bawel seperti biasanya. Agil hanya tersenyum, geleng-geleng kepala menanggapi kebawelan Aci, sahabat nya.  "Ci kenapa kamu betah pake kacamata mu? Lepas barang sejenak saja kamu enggan? Kenapa?"  Agil balik bertanya.  "Hahah ya iya lah.. bersamanya dunia jadi lebih terang Gil, lucu kamu"  Jawab Aci singkat. Tanpa menoleh ke lawan bicara nya.  "Kamu suka lucu

Belum Jatuh Lagi

Pada detak jarum jam yang menjadi kendali waktu, aku mengadu Pada tetesan hujan yang jatuh ke tanah, aku bertanya Di sujud yang menjadi titik temu antara aku dan sang pencipta, aku berserah Kenapa bibirku tersenyum tapi hampa Kenapa lidahku berkata tapi tak bermakna Oh mungkinkah aku gagal merayu cinta? Memintanya jatuh tepat di hati yang nelangsa Menciptanya seolah ia bagian dari rekayasa dunia Membangunnya di atas keraguan doa Semakin ku gapai wujudnya makin semu Semakin ku raih aroma makin jauh Kucoba bisikkan doa lirih, ia makin tak tersentuh Adakah waktu mengerti? Adakah hujan memahami? Adakah Tuhan mengilhami? Seorang hamba yang telah menjadi budak waktu Seorang hamba yang hatinya membatu Seorang hamba yang merayu tak kenal malu Semoga pada detak jam yang ke sekian ribu Pada hujan yang menggemuruh Pada sujud yang tak ada batasan malu untuk mengadu Tuhan pasti menjawab doa Aku belum lelah menengadah Masih setia membentang sejadah Menghamba pada

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan" (Imam Syafi'i) Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi. Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas.  Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung.  Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kemb

Coklat-coklat Termanis

lamunan yang menyisahkan setengah jiwa untuk tetap berada di badan ringkih ku ini, berhasil membawaku ke pusat jajanan coklat . Jauh... cukup jauh dari tempat kost ku.  'Delfino cake & chocolate' aku berdiri di sudut paling kiri parkiran. Usai melepas helm aku melangkah pasti masuk ke cafe itu. duduk di pojok kiri dan memilih posisi bangku paling kiri. Seorang pramusaji telah berdiri di depanku menyodorkan buku menu.  Aku tak perlu meniti satu-satu menu dalam daftar, karena untuk ini aku kemari 'hot chocolate' .  Secangkir coklat panas telah berada di tanganku. Coklat panas pertama ku. Aku tak langsung menyeruput. Memperhatikan coklat kental dengan asap yang mengepul di atas nya. Apa istimewa nya minuman ini? Sampai jauh-jauh aku cari.  Tanpa sadar bibir tipisku membentuk lengkung kecil, susah payah aku tahan senyum itu tetap tersungging. Kala kepulan asap itu membentuk wajah konyolmu. Fuuuh ku tiup asap itu berharap wajahmu juga lenyap. Slruuup, sete