Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Halo Surabaya (part III)

Mencoba melupakan sabun yang terlupakan, eh yang tertinggal. Mencoba memaafkan diri sendiri atas kecerobohan yang bukan baru sekali aku lakukan.  Oke, berjalan keluar menyusuri jalan perumahan keputih tegal timur. Jalanan hampa tanpa satu angkot pun yang melintas, yang ada hanya beberapa motor dan mobil pribadi. Harus ikhlas jalan kaki menuju pasar, jarak yang tidak dekat pasti menambah rasa lengket di badan, sudahlah, karena ada mama semua yang nampaknya berat dan menyebalkan mampu aku lewati dengan tawa. Aaaah mama ❤ Tapi sepertinya Allah tau kami lelah, di tengah perjalanan seorang tukang becak lewat. Ehehe rezeki anak solehah nih..  Ya udah, ke pasar nya ga jadi jalan kaki. Alhamdulillah..  Oh iya, aku dan mama sampe lupa kalo lagi di tanah Jawa, ngobrol seenaknya dengan bahasa Palembang dan suara agak keras. Tiba-tiba pak sopir becah memotong obrolan kami, sambil mengayuh sepedanya pak sopir becak nya nanya, 'mau kemana?' Dengan logat jawa yang medhoook.  Enta

Halo Surabaya (part II)

11 Januari 2015, pertama kali bangun tidur di Surabaya *apasih Deb, ga penting*  Sesungguhnya begitu banyak pelajaran pagi itu, terutama jangan bandel alias nekat, kedua plissss sebelum pergi ke kampung/kota orang yang kita ga tau sudut-sudut nya, persiapkan semua kebutuhan yang penting untuk kelangsungan hidup kita *hyaaa ini apa lagi*  Tapi ini serius..  Sebenrnya perjalanan ke Surabaya ini cukup jauh bagiku juga bagi mama yang menemaniku. Kami sudah menyiapkan berkas, pakaian, dan barang-barang yang ga bisa aku tinggal lah pokoknya.  Tapi serapi apapun manusia menyusun rencana, jika Allah berkehendak lain, kita bisa apa?  Malam sebelum keberangkatan semuanya baik-baik saja sampai negara api menyerang. Adik ku, Dimas kena serangan sakit kepala mendadak sampai harus di rawat di rumah sakit. Jadilah semua persiapan yang tersusun rapi sejak bulan lalu buyar sebuyar buyarnya. Mama, orang yang paling teliti tentang semua keperluanku, orang yang paling cerewet mengingatkanku, ma

Halo Surabaya (Part I)

Tanggal 10 Januari 2015 adalah pertama kali aku menginjakkan kaki di Surabaya. Oh ya, cerita kali ini, jika terkesan norak. Maafkeun ya, ehehehe *flas back* Sekitar setahun lalu, saat aku melaksanakan kerja praktek di Pertamina Ep Prabumulih (saat masih jadi mahasiswi Polsri) entah darimana dan entah ide siapa, aku dan Tiwi berbincang mengenai lanjut jenjang dari D3 ke S1, saat itu yang aku tau kami hanya membicarakan angan-angan kosong. Memilih-milih kampus ternama di pulau Jawa. ITS salah satunya. namanya juga angan-angan. Padahal dulu aku benar-benar enggan lanjut kuliah. Sudah cukup lelah berteman dengan angka, proses kimia dan segala reaksinya, tapi papa.. iya, dia punya harapan besar putri sulungnya ini bisa kerja di perusahaan yang ah #ifyouknowwhatimean. Dia benar-benar menginginkan putri sulungnya bergelar ST. padahal, aku sendiri maunya lulus ini kerja, kemudian, ah #ifyouknowwhatimean.  Meski dalam rentang waktu satu tahun, bathin tak pernah mantap. Kadang maju ka

tentang pergantian tahun

“sungguh kalian akan mengikutike biasaan bangsa sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga kalian masuk ke dalam lubang biawak sekalipun. Sahabat bertanya, apakah yang engkau maksud itu bangsa yahudi & nasrani ya Rasulullah? Beliau menjawab, siapa lagi kalau bukan mereka” (H.R muslim) Hadist di atas adalah penggalan dari pesan yang masuk di group whatsapp pagi ini. duh meski tahun baru telah lewat, perayaannya hanya menyisahkan bekas bakar-bakaran di halaman rumah (mungkin), juga suara terompet-terompet yang masih terdengar sesekali. Tapi rasanya saya jadi gregetan ingin menuliskan sesuatu. Ini bukan tentang penolakan saya terhadap perayaan pergantian tahun, karena rasanya sudah banyak artikel-artikel dari media dakwah yang memaparkan lebih rinci tentang kenapa kita dilarang berpesta pora menyambut pergantian tahun. Awalnya, di berbagai media sosial, saya masih menjumpai teman-teman yang nyinyir tentang pergantian tahun ini. kenapa saya bilang nyinyi