Langsung ke konten utama

tentang pergantian tahun

“sungguh kalian akan mengikutike biasaan bangsa sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga kalian masuk ke dalam lubang biawak sekalipun. Sahabat bertanya, apakah yang engkau maksud itu bangsa yahudi & nasrani ya Rasulullah? Beliau menjawab, siapa lagi kalau bukan mereka” (H.R muslim)

Hadist di atas adalah penggalan dari pesan yang masuk di group whatsapp pagi ini. duh meski tahun baru telah lewat, perayaannya hanya menyisahkan bekas bakar-bakaran di halaman rumah (mungkin), juga suara terompet-terompet yang masih terdengar sesekali. Tapi rasanya saya jadi gregetan ingin menuliskan sesuatu.
Ini bukan tentang penolakan saya terhadap perayaan pergantian tahun, karena rasanya sudah banyak artikel-artikel dari media dakwah yang memaparkan lebih rinci tentang kenapa kita dilarang berpesta pora menyambut pergantian tahun.
Awalnya, di berbagai media sosial, saya masih menjumpai teman-teman yang nyinyir tentang pergantian tahun ini. kenapa saya bilang nyinyir? Jadi begini....
Sebagian teman-teman yang sudah mengerti tentang halal-haram dan baik-buruknya suatu perkara banyak mencurahkan kekesalan mereka dengan berbagai kalimat negatif di akun-akun media sosial, yang lebih nyebelin itu tidak cukup sekali update tapi mesti berkali-kali itu loh.
Ya mungkin maksud mereka baik, dengan niatan dakwah, dengan niatan mengingatkan. Tapi yang saya sesalkan kok ya gitu aktivis dakwah? Main sindir-sindiran di media sosial. Emang yang disindir baca apa status fb, twitter, bbm, line, path kamu?
Ya syukur-syukur kalo sindiran (peringatan) yang kamu buat sampai tepat kena sasaran, kalo tidak? Yang namanya media sosial itu kadang yang disindir siapa yang tersinggung siapa. Kan jadi riweuh urusannya.
Lagipula kalo menurut saya suatu nasihat itu lebih baik disampaikan dengan kalimat baik-baik dengan pilihan kata yang terbaik, agar yang membaca hatinya tetap adem dan kalem hehe

Untuk saya, yang Alhamdulillah sekarang sudah tau kalo pergantian tahun itu tidak harus dirayakan dengan terompet-terompet, ya masih bisa kalem nanggapin status-status itu. Toh saya tidak merayakan, jadi ya untuk apa tersinggung?
Tapi.... sebagai seseorang yang masa lalunya jahiliyah, saya tau persis gimana komentar orang-orang yang belum kenal dalil-dalil dan hadist, pasalnya sekitar 4 tahun lalu kira-kira (saya lupa kapan terakhir main kembang api) saya dan teman-teman SMA juga ikut-ikutan merayakan tahun baru, acara bakar-bakaran, main kembang api, dan ketawa-ketiwi sampai tengah malem. Pas jam 12 tepat tengah malem kami ngidupin kembang api sambil teriak-teriak “happy new year” .
Tiba-tiba tetangga depan saya keluar rumah dan banting pintu, braaaaakkk.. kami mendadak diam. Bapak-bapak paruh baya itu langsung nunjuk-nujuk ke arah kami “malem tahun baru itu bukan untuk pesta. Berdoa sana, siapa tau besok mati” katanya sambil teriak-teriak juga.
Kami saling pandang, beberapa teman yang tak terima langsung berbisik-bisik mengomentari omongan bapak itu. Sebagai tuan rumah, saya jelas takut sekali. Lah iya temen saya setelah malam itu mungkin tidak akan bertemu lagi dengan dia, nah saya yang tetangganya ini loh...
Lalu saya menyimpulkan bahwa tetangga saya marah dan berkata demikian mungkin karena kami terlalu berisik dan mengganggu waktu tidurnya.

Setelah 4 tahun berlalu, tepatnya semalam sekitaran rumah kami sunyi senyap termasuk rumah tetangga depan. Saya kembali teringat kejadian 4 tahun lalu, ada hal yang dapat saya simpulkan betapapun baiknya nasihat yang disampaikan dengan marah-marah dan kata yang tidak baik tidak akan sampai ke tujuan.
Begitulah sekiranya kolerasi antara kalimat tetangga saya dengan status teman-teman di media sosial. Hanya menjadi dengungan kata tak bermakna di telinga-telinga mereka yang merayakan pergantian tahun.

Oh iya, sebelum kita nyinyirin orang-orang di luar sana, mungkin kita lihat dulu orang-orang terdekat kita. Sudahkah mereka aman dari kebatilan?
Seperti adik bungsu saya yang sejak sehari sebelum malam tahun baru selalu bertanya ke mama dan papa. “kita bakar apa pa? Ayam ya pa”
Terus saya jawab, “ngapain adek mau bakar-bakaran? Pergantian tahun itu tidak boleh dirayakan loh dek” . “bukan merayakan tahun baru mbak, kan Cuma pengen bakar ayam” kilahnya
Akhirnya permintaan nya dipenuhi oleh papa tapi dengan syarat tanpa terompet dan kembang api. Dia setuju. Sekali lagi saya tegaskan ke adik saya, “ini bukan perayaan tahun baru ya dek”
Entah anak umur 11 tahun itu sudah mengerti atau belum setidaknya saya ingin dia tau sejak sekarang bahwa tidak ada perayaan tahun baru dalam agamanya.

Dan dari tulisan random ini, saya mengajak siapapun yang membaca untuk berhenti menyampaikan nasihat dalam bentuk sindiran. Yok kita sama-sama menuliskan hal-hal yang baik agar menjadi amal jariyah bagi kita. Karena sekali tulisan itu kita posting di media sosial kita tidak bisa menarinya lagi sekalipun dengan menghapusnya. Jadi tuliskanlah kata-kata apa saja yang kamu tidak akan menyesal pernah menulisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan