Langsung ke konten utama

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan"
(Imam Syafi'i)

Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi.

Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas. 
Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung. 

Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kembali membaur dengan para pemikir yang lewat karya nya mampu melogiskan segala hal dalam dunia ini. Segala hal bisa dikalkulasikan, apa yang ingin kau hitung? Kecepatan cahaya, momentum, gravitasi bumi, daya listrik, tahanan suatu benda, atau kau ingin mempelajari prilaku fluida, aksi-reaksi, teori panas, kesetimbangan fasa, konversi energi? Ah masih banyak lagi. Tapi satu yang tak akan kau temui di buku mana pun, para pemikir itu tak bisa mengkalkulasikan cinta, haha atau mungkin bagi mereka itu bukan hal penting? 

Dan sepulang kuliah, pundakku terasa berat. Beban yang ku pikul melebihi kemampuan yang kupunya. Maksudku, buku-buku itu terlalu berat. :'D 
Berlalu juga satu hari yang terasa bagai seribu hari. 

Malam beranjak larut, aku masih *pasang ikat kepala* menyelesaikan tugas yang tak bisa aku selesaikan, memutar otak, jungkir balik rumus tetap saja nihil. rasa bersalah menggelayut di dinding-dinding hati. Ada wajah orang tuaku menyapa dalam gelap, ketika aku memejamkan mata. Ku putuskan untuk tidur, mungkin aku lelah. 

Selasa, 10 Februari 2015 . Aku mulai membiasakan diri (lagi) bersahabat dengan 'hukum-hukum' thermodynamics, yang aku tak tau untuk apa sebenarnya aku pelajari? Adakah guna nya bagi agama ku kelak? 
Ya, pertanyaan yang selalu muncul dalam diriku ketika aku mulai lelah dengan segala permodelan matematis yang memaksaku berfikir logis se logis-logis nya. Apakah ada guna nya di hadapan Tuhan ku? 

Hingga pertanyaan yang tak pernah keluar dari mulutku, pertanyaan yang aku kurung dalam fikiranku itu ternyata di jawab oleh dosen matematika teknik. Sebuah pukulan yang menyadarkan ku untuk mengaitkan segala usaha dan aktivitas kehidupan dengan yang Maha memberi hidup. 

Begini kira-kira kalimatnya
"Saya bisa mendapat gaji yang lebih besar jika bekerja menjadi konsultan pabrik di bandingkan menjadi dosen. Tapi kenapa saya memilih untuk ada di sini? Karena bagi saya mencerdaskan calon pemimpin seperti kalian adalah kebahagiaan tersendiri bagi bathin saya. Saya tidak ingin kalian hanya pandai menghitung di kelas saya, tapi saya juga ingin kalian beradab. Orang pintar itu banyak, tapi orang pintar yang tidak beradab juga banyak. Maka bukalah wawasan kalian, jadilah orang jujur, orang pandai yang punya etika, orang pandai yang takut dosa" 

Mendengar penuturan beliau aku tersentak, sadar. Bahwa sistem belajar di kampus perjuangan ini yang begitu keras, bukan hanya bertujuan membentuk manusia pintar, tapi juga ber akhlak dan memiliki etika. Tentu saja aku dan siapa pun yang tengah berjuang menyelesaikan kuliah di luar ilmu fiqih tak akan luput dari perhitungan Allah, selama tujuan kami masih Allah. 
Aku masih memiliki harapan untuk diriku sendiri dan semua pelajar yang masih berkutat dengan diktat yang di penuhi angka dan rumus bisa memperbaiki Indonesia. Karena kini aku masih meraba takdir, akan jadi apa aku lima tahun ke depan? Jadi vendor,  konsultan pabrik, guru besar atau dosen aku tetap harus berpegang pada agama, dengan tujuan satu yaitu keridhoan Nya. 

Bukan kah akan baik negara kita bila manusia hanya menghamba pada Allah, bukan pada rupiah, harta dan tahta? 

Dan sebagai mahasiswi aku pun harusnya begitu, hanya boleh menyembah Allah, menghambakan diri pada Nya, bukan pada yang lain. Dan tujuan utama harusnya tetap Allah bukan hanya angka tiga koma.

Ntms : Tugas kita hanya berusaha, hasil itu bagian Allah. Teori yang masih berlaku hingga kini adalah bahwa usaha tak pernah mengkhianati hasil.

-masih semangat belajar-

Surabaya, 13 Februari 2015

Komentar

Fran mengatakan…
Lesson has learned by Deby!! 8/10 buat tulisan ini.
saidahumaira mengatakan…
Deb. Suka bacanyaaaa. Suka penjelasan dosennya. Dan suka endingnya.. Keep writing deb :)
Unknown mengatakan…
uni merinding deb... serius dah suka sama kata-kata dosennya
Deby Theresia mengatakan…
Makasih syifaaa :") udah mampir..
Deby Theresia mengatakan…
Makasih mbak saiiii . Dosen nya serem, fyi wkwkwk . Siaaap, keep writing jg mbak :)
Deby Theresia mengatakan…
Iyaa un, dosen nya syereeem banget tapi haha :'D
Nadhira Arini mengatakan…
Aduuhh, debykuu. Keyeen ihh, tulisannyaa. Kata2 ending terakhirnya bagus bangeett :D
Deby Theresia mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Deby Theresia mengatakan…
Aw aw makasih mbak Dhirjokuuu :*
Anonim mengatakan…
Deby, makasih utk tulisan bagusnya :). Aku jd kangen memanggul buku buku berat dan berkutat memahaminya. Berdiam diri di perpus kenikmatan tersendiri. Semangat kuliahnya deby ;)
Lisma Nopiyanti mengatakan…
Tulisan yang indah mba debb. Semoga Allah selalu meridhoi usaha kita. Aamiin Allahumma aamiin :')
Deby Theresia mengatakan…
Mbak putri, makasih :")
Anw, ak merindukan tulisan-tulisan mu. Gabung group lg plisss
Deby Theresia mengatakan…
Aamiin, semangat Lisma :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan