Langsung ke konten utama

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016,
Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan. 

"Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah" 

Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah.

Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu

15 Juni 2018, 
Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terbangun dengan kepala yang masih sedikit sakit. Kuraih ponselku, jam digitalnya menunjukkan sepuluh menit lagi adzan subuh berkumandang. Ada banyak pesan whatsapp masuk, namun mataku tertuju pada satu nama di sana. Buru-buru kubuka pesan darinya "selamat ulang tahun calon istriku, semoga aku bisa membahagiakanmu sepanjang hidupku" .
Pesan dari orang yang sama dengan yang menuliskan doa di laman komentar blogku dua tahun lalu, namun dengan doa yang berbeda.

Sayup suara takbir dari masjid Nurul Iman, menghangatkan hatiku di pagi yang beku. Lirih kuucap takbir. Kubisikkan pertanyaan pada sang pembolak balik hati. Diakah pilihanmu, Tuhan?

***

Sebab sebelumnya kita adalah dua ketidakmungkinan dalam logika manusia. Kita adalah dua kepala dengan keyakinan yang berbeda. Kau dengan upayamu menjadikan aku "rumah" bagimu, dan aku dengan segenap upaya meyakinkanmu bahwa aku bukanlah orang itu.

Sejak 2009 keyakinanmu tak pernah berubah katamu. Bagimu, akulah orang yang akan ada di masa depanmu, menghabiskan sisa hidup denganmu, melewati hari tua bersamamu dengan secangkir teh hangat di sore hari kita nanti.

Mei 2016, aku menyerah dengan segala upayamu, aku bersedia kau temui di salah satu tempat jajan favoritku yang enam bulan tak kusambangi sejak kau dan aku duduk di salah satu sudut kedai itu. Sebab, melukaimu adalah luka bagiku.

Satu permintaan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya "be mine" katamu, "hiduplah denganku" . Satu permintaan yang juga tak bisa aku wujudkan bertahun-tahun lamanya. Aku menggeleng pelan tanpa berani menatap matamu. Sejak saat itu  kamu tak perlu berlelah-lelah mencari aku. Kita usai. Apa yang tak pernah kita mulai, sepakat kita akhiri hari itu.

Waktu bergulir membawa kita beranjak dari masa lalu. Dan kita tentu tak pernah menduga pernikahan salah satu temanmu di Juli 2017 menjadi awal 'hidup baru' pula bagi kita. Lewat telepon kau bilang "hiduplah denganku, kita cari surga sama-sama."

Usai percakapan di telepon waktu itu, kita bertemu lagi di September 2017, saat pertama kali dalam hidupku aku melihatmu tertawa begitu lepas, mendengar cara biacaramu yang kadang terbata-bata. Kita bercerita banyak hal sebelum kau bicara pada ayahku. Entah apa yang kau alami setahun belakangan, kulihat kau semakin membungkuk saking kurusnya, tulang-tulang pipimu mempertegas bahwa beratmu mungkin tak mencapai 60 kilogram.

Masih di September 2017. Meski bergetar suaramu siang itu, namun tegas kau sampaikan maksudmu pada ayahku, kau pinta aku darinya. Kau remas-remas kedua tanganmu, keringat pastilah membanjiri tubuhmu, t-shirt yang kau gunakan nampak basah di bagian dada dan punggung. Cemas. Tentu saja kau cemas, saat pertama kali berkenalan dengan ayahku, kau langsung meminta puteri satu-satunya yang ia miliki.

Keseriusanmu ditertawakan ayahku, namun dari tatap matamu dan suaramu, tak sedikitpun semangatmu layu. Terimakasih sudah berjuang, bisikku dalam hati, meski waktu itu aku belum juga yakin untuk berkata iya. Ayahku meminta waktu agar aku istikharah. Hingga akhirnya....

24 Juni 2018,
Kau jabat tangan ayahku, tak lebih sepuluh detik saat kau ucap "saya terima nikahnya...." maka berpindahlah tanggung jawab ayahku ke pundakmu.

Sesuatu yang tak kusangka akan terjadi dalam hidupku, dinikahi olehmu, Tuan anonim. Sejurus kemudian gema doa yang dipimpin penghulu menjamah tak hanya telingaku, tapi juga menjalar ke inti hatiku. Barakallaahulakuma... Doa yang diamini seluruh kerabat kita yang datang hari itu.

Gurat-gurat bahagia tak kutangkap di air mukamu kala aku datang menujumu, ketegangan masih membungkus rona wajahmu. Hei, kau suamiku kini, bisikku dalam hati, dan kuyakin dalam hatimu berkata hal serupa, kau istriku sekarang.

Terhitung 24 Juni 2018, aku utuh menjadi milikmu, kita sepakat bahwa pernikahan kita adalah proses taaruf seumur hidup. Kita akan terus belajar memahami satu sama lain sampai batas waktu kita harus berpulang.

Dan kini satu hari lagi, akan genap satu bulan kita hidup satu atap. Betapa banyak kejutan yang aku temui dari laki-laki bernama Bertinus Shelby. Setiap malam sebelum aku terlelap, kusapukan pandangan di wajah teduhnmu, aku bertanya tanya sendiri untuk kemudian menemukan  sendiri jawaban atas pertanyaanku. Tentang kenapa akhirnya Tuhan pilihkan kau untukku.

Dear Mashel, setelah berjuang, terimakasih telah bersabar menghadapi seorang Deby yang belum bisa apa-apa ini. Semua doa terbaik selalu kubisikkan  di penghujung sujudku, juga di telingamu, saat kau tenggelam di alam mimpi. Kau tak akan dengar mungkin, tapi aku yakin doaku sampai ke langit sana.

Rumah | Juli 2018


Komentar

Giovanny Putri Andini mengatakan…
Senang membacanya :)

Semoga selalu kuat merawat bahagia pada pernikahan, mba Deby!
Anonim mengatakan…
Play fun88 Casino
Fun88 casino review and rating. Play free demo slots or real money games dafabet at Fun88 fun88 soikeotot Casino. Enjoy top casino games such as video gioco digitale slots, roulette, keno &
muhammad solehuddin mengatakan…
semoga sehat selalu ya mba deby. lets move on!

Postingan populer dari blog ini

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan