Langsung ke konten utama

Kacamata

Dua pasang mata  menatap pantai lepas, memandang ke arah laut luas. Melihat laut dan langit menyatu seolah tanpa batas. Aha tapi ada yang berbeda dari Agil hari ini. 

"Agil, kacamatamu kenapa di lepas? Pake ayo pake" 

Aci mencoba memasangkan kacamata ke muka Agil, sembarang. Hingga salah satu gagang kacamata itu mencolok mata sayu Agil. 
Aci tertawa girang melihat Agil menolak dan meringis kesakitan. 

"Kamu kenapa sih? Pake dong. Mata silinder dan minus mu itu tak akan mampu menangkap keindahan semesta tanpa benda ajaib ini. Huuhh" 

Aci masih saja bawel seperti biasanya.
Agil hanya tersenyum, geleng-geleng kepala menanggapi kebawelan Aci, sahabat nya. 

"Ci kenapa kamu betah pake kacamata mu? Lepas barang sejenak saja kamu enggan? Kenapa?" 

Agil balik bertanya. 

"Hahah ya iya lah.. bersamanya dunia jadi lebih terang Gil, lucu kamu" 

Jawab Aci singkat. Tanpa menoleh ke lawan bicara nya. 

"Kamu suka lucu. Udah tau rabun, mata rusak, dapet kesempatan lihat dunia luar malah buka kacamata. Hih, percuma dong tiket liburannya aku kasih ke kamu. Mending aku jual" 

Aci lanjut ngomel, panjang lebar hanya gara-gara kacamata Agil teronggok di tempat yang tak semestinya, di atas butiran pasir berwarna pink. 

"Diiih, ngomel terus Ci, ga capek?" 
Agil menunduk, mengais-ngais pasir dengan ranting. Menuliskan huruf 'A' di atasnya. 

"Kamu pake kacamata biar bisa lihat dunia luas kan Ci? Aku sebenernya juga sedang menikmati duniaku sekarang, meski tanpa kacamata..." 

Kalimat Agil terhenti, tapi intonasinya tak pas untuk mengakhiri sebuah kalimat. Semacam ada yang menggantung, ada lanjutan dari kalimat itu, tapi buru-buru di stop. 

"Terserah dah, dunia kita beda kayanya ya" 
Aci menjawab ketus. 

Agil hanya tertawa kecil. 

"Kau tau wahai Aci ku yang bawel, Meski mataku ini hanya mampu memandang jelas pada jarak 3 meter saja, tapi aku menemukan dunia ku bahagia di sini. Tiket liburan ke Lombok adalah tiket menyelami duniaku lebih dekat, lebih privasi tanpa bising suara teman kantor kita. Tanpa coklat-coklat yang mengalihkan perhatianmu. Karena kini kau duduk hanya satu meter di sampingku, maka aku tak butuh benda ajaib itu, aku tak butuh kacamata untuk menatap semesta, menatap duniaku, karena kau. Kau adalah duniaku

Usai menyelesaikan potongan kalimat yang menggantung itu, meski terucap dalam hati, Agil tertawa lepas dan memukul kepala Aci dengan ranting di tangan nya. 

"Agiiiil" teriak Aci menahan marah.. 

Komentar

saidahumaira mengatakan…
So sweet deb! Agil dan Aci longlast yaaa 😀
Deby Theresia mengatakan…
Wkwkwk temen jadi demen :D
Deby Theresia mengatakan…
Makasih mbaj choco, semanis chocolava :3
Fran mengatakan…
Deb, stop it!!
Hahaha

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan