Langsung ke konten utama

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan...

Aku adalah hujan
Yang mungkin kamu benci
Ketika aku turun tanpa permisi
Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering

Aku adalah hujan
Yang mungkin kamu tunggu
Di teriknya siang di Surabaya

Aku adalah hujan
Yang katanya kamu sukai
Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu

Aku adalah hujan
Yang mungkin kamu tunggu
Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah

Aku adalah hujan
Yang tidak akan pernah lagi menyapamu
Karena aku adalah hujan

Komentar

Anonim mengatakan…
Hujan,sayang nya engkau hanya ingin jatuh di 1 tempat saja dimana seseorang tak menyambut mu ramah. Seperti sebuah siklus harapan saja,dimana disini aku yang sangat membutuhkan mu,hanya diberikan sang terik.
Deby Theresia mengatakan…
mungkin hujannya hujan lokal, Mas :D
MacMan mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
MacMan mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan…
Apa yang harus dilakukan seseorang dalam kemarau yg sangat panjang. Ya,akan aku lakukan itu,meski tak aku tahu kapan bergant. Karna aku membutuhkan hujan mu .
Deby Theresia mengatakan…
hujan buatan? Sebenernya ini puisi ga jelas dan ga bermakna. tapi bisa bikin anon baper ya wkwkwk
Anonim mengatakan…
:) i'm so sorry,i know it's does'nt important for u. :)
Anonim mengatakan…
Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia,mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umur mu lebih bermanfaat dan barakah. Aamiin
Deby Theresia mengatakan…
Bahagia dan tidak di hari ulang tahun itu ibarat dua sisi uang koin. Keduanya ada. But terimakasih anon, semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015