Langsung ke konten utama

Coklat-coklat Termanis

lamunan yang menyisahkan setengah jiwa untuk tetap berada di badan ringkih ku ini, berhasil membawaku ke pusat jajanan coklat . Jauh... cukup jauh dari tempat kost ku. 
'Delfino cake & chocolate' aku berdiri di sudut paling kiri parkiran. Usai melepas helm aku melangkah pasti masuk ke cafe itu. duduk di pojok kiri dan memilih posisi bangku paling kiri. Seorang pramusaji telah berdiri di depanku menyodorkan buku menu. 
Aku tak perlu meniti satu-satu menu dalam daftar, karena untuk ini aku kemari 'hot chocolate' . 

Secangkir coklat panas telah berada di tanganku. Coklat panas pertama ku. Aku tak langsung menyeruput. Memperhatikan coklat kental dengan asap yang mengepul di atas nya. Apa istimewa nya minuman ini? Sampai jauh-jauh aku cari. 
Tanpa sadar bibir tipisku membentuk lengkung kecil, susah payah aku tahan senyum itu tetap tersungging. Kala kepulan asap itu membentuk wajah konyolmu. Fuuuh ku tiup asap itu berharap wajahmu juga lenyap.

Slruuup, seteguk coklat panas menghangatkan tenggorokan ku, juga hati ku. Sebentar terpejam aku kembali mendengar suara mu menggema di telinga. "Minuman paling enak itu, coklat panas. Bukan kopi apalagi bir. Ia menghangatkan jari, kaki, diri, bahkan hati" 
Buru-buru aku buka mata, aku tertawa kecil mengingat wajahmu lugu tapi tulus juga jujur saat bicara tentang coklat. Lalu diam-diam aku mengamini kata-kata mu. 

Lalu, seruputan yang kedua membawa ingatan ku melayang bebas ke masa lima tahun silam. Ketika pertama kali kita saling sapa dalam dunia yang tak nyata, dunia maya. Lewat skype kita bertatap mata. "Kita ada di satu kota, tapi kenapa kita tak mencoba untuk berjumpa di dunia yang lebih nyata?" Protes mu. Aku hanya tertawa, seolah tak peduli padahal berharap di paksa. 

Seruputan yang ketiga, ingatanku mulai menjejakkan langkah di tahun-tahun penuh duka. Tiga tahun lalu ketika aku kehilangan jejak pria unik yang tak suka rokok dan kopi. Iya, itu kamu. Dahiku mulai mengkerut, dadaku mulai disesaki sesal dan kesal. Sebuah perpisahan sepihak yang tak pernah kita sepakati. tak ada matamu tempat mataku beradu, tak ada genggam tanganmu di punggung tanganku. Tak ada adegan dramatis yang mengakhiri kisah cinta persahabatan kita. Meskipun tak satu detikpun kita berjumpa secara nyata, entah mengapa sosokmu menjadi yang teristimewa lima tahun belakangan, bahkan hingga jejakmu tak membekas pun kau tetap lekat di fikiran. 

Tidak, tidak . Aku tidak ingin melanjutkan. Menghirup coklat panas ini hanya menyesakkan dada. 

Ku letakkan gelas putih itu di meja, jariku menyusuri setiap inchi bibir gelas, seperti peramal yang mengusap bola kristal nya. Barangkali aku menemukan bayang wajahmu mengapung dalam gelas. tapi ingatanku makin jadi lari kesana kemari. Menjejerkan gambar diriku yang tertatih melangkah di kota Makasar. Sejumput kenangan yang kemudian menggunung, tak terbendung membuat aku hijrah ke Bandung. Berharap menemukan hidup baru yang lebih beruntung.

Tapi kenangan itu bagai mata lembing yang aku lempar jauh-jauh justru berbalik membabat leherku. 

Seperti kabar yang aku terima seminggu yang lalu, bahwa kini kau bekerja di Jakarta. Jarak kita hanya ratusan kilo saja kini. Terasa sia-sia aku meninggalkan Makasar. Dan seperti hari ini aku menyerahkan diriku larut dalam ingatan tentangmu. Lewat coklat panas yang sering kamu puja, lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Melupakanmu ternyata berat, walau kita tak pernah terikat. 

Ku angkat lagi gelas ku, coklat panasku mulai mendingin, hangatnya sudah terbang terbawa angin. Begitu juga diri mu, yang detik ini aku bebaskan dari inginku . Entah esok lusa ingin ini bertransformasi menjadi angan, aku tak kan pernah tau. Maka maafkan jika nama mu tetap hidup dalam ingatan. 

Belum sempat aku menghabiskan coklat panas ku yang mulai mendingin, adzan menggema tanda Tuhan ku memanggil, hati yang tadi hangat mendadak menggigil, air bening di sudut mata keluar sendiri tanpa di panggil, meratapi betapa diri ini sungguh kerdil. 

Kutinggalkan separuh coklat dalam gelas, kutitipkan cinta yang tak mengharap balas, Semoga esok lusa jika aku kembali menemui coklat-coklat yang lain, perasaan itu sudah hilang tak membekas.

Ditulis ketika aku mulai jatuh cinta pada coklat, dan belajar membunuh segala rasa padamu si maniak coklat. 

Kamar kosan - Surabaya, 2015

Komentar

Ron mengatakan…
Bahasanya enak dibaca. :)

Dinil Abrar Sulthani mengatakan…
Haha pelampiasan minum cokelat,
Ada unsur mubazir sih ya.
Bagus ceritanya
saidahumaira mengatakan…
Deny, sukaaa bacanyaaa. Kamu, coklat, dan kenangan yang tak seharusnya ku ingat.

Keep writing, Deb :)
saidahumaira mengatakan…
Oalah, baru ngeh typo. Maaf ya Deby :)
Deby Theresia mengatakan…
Terimakasih sudah membaca :)
Deby Theresia mengatakan…
Haha iya ya, padahal ga boleh mubazir
Deby Theresia mengatakan…
Eheheh makasih mbak saiii udah baca :**
Iyaa, keep writing ya :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan