Langsung ke konten utama

Belum Jatuh Lagi

Pada detak jarum jam yang menjadi kendali waktu, aku mengadu
Pada tetesan hujan yang jatuh ke tanah, aku bertanya
Di sujud yang menjadi titik temu antara aku dan sang pencipta, aku berserah

Kenapa bibirku tersenyum tapi hampa
Kenapa lidahku berkata tapi tak bermakna
Oh mungkinkah aku gagal merayu cinta?

Memintanya jatuh tepat di hati yang nelangsa
Menciptanya seolah ia bagian dari rekayasa dunia
Membangunnya di atas keraguan doa

Semakin ku gapai wujudnya makin semu
Semakin ku raih aroma makin jauh
Kucoba bisikkan doa lirih, ia makin tak tersentuh

Adakah waktu mengerti?
Adakah hujan memahami?
Adakah Tuhan mengilhami?

Seorang hamba yang telah menjadi budak waktu
Seorang hamba yang hatinya membatu
Seorang hamba yang merayu tak kenal malu

Semoga pada detak jam yang ke sekian ribu
Pada hujan yang menggemuruh
Pada sujud yang tak ada batasan malu untuk mengadu

Tuhan pasti menjawab doa

Aku belum lelah menengadah
Masih setia membentang sejadah
Menghamba pada yang kuasa
Meminta dalam doa

Tuhan, buat hatiku jatuh cinta pada Surabaya 

Komentar

Fran mengatakan…
Kangen ayah, kangen ibu, kangen rumah detected!!! Bagus, Deb :D
Deby Theresia mengatakan…
Galau detected haha . Weisss di puji sama yg jago sajak :D
saidahumaira mengatakan…
Faboulus deb! Keceee maksimal. Penuh makna :))
Said mengatakan…
Kasih 4 jempol buat puisinya...
:D
Deby Theresia mengatakan…
Wkwkwk pake jempol kaki ni pasti :p

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan