Langsung ke konten utama

Mencintai Kehilangan

Yang fana adalah waktu, kata Sapardi Djoko Damono. Di antara kepingan bahagia yang semakin utuh, aku merenungi kembali kata-kata Mas Gun kala itu, kita mencintai yang sewaktu-waktu pergi, kita belajar bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki apa-apa. Bahkan diri kita sendiripun bukan milik kita. 

"Kalau mama nanti meninggal, diginiin ya mbak. Terus jagain adik-adik. Terus..."

Sering Ibuku berkata seperti itu, beliau bilang syarat mati tidak harus sakit dan tidak harus tua. Setiap kali Ibuku berkata seperti itu, sesungguhnya aku marah, aku tidak siap dan tidak akan pernah siap kehilangan. Bisa apa aku tanpa Ibu. Aku tanpa Ibuku, seperti seseorang yang kehilangan salah satu kakinya, jangankan untuk berlari, berdiripun tak akan seimbang. 

"Kalau mbak yang pergi duluan, gimana Mah?" 
Kataku balik bertanya, Ibuku hanya tertawa.

Pernah suatu kali Ibuku berkata siap kehilangan semua hartanya, di lain waktu dia berkata kalau bisa saja gila karena kehilangan anaknya. 

Aku dan Ibuku saling mencintai, dan cinta membuat kami takut kehilangan, padahal sesungguhnya kami tidaklah saling memiliki.

Secara tidak sadar, kadang kita meletakkan bahagia dan kesedihan kita pada ada atau tiadanya seseorang. Secara tidak sadar pula kita meletakkan cinta kepada makhluk melebihi cinta kita kepada Allah.

Apa yang aku rasa juga demikian. Ketika membayangkan suatu hari Ibu akan meninggalkanku, air mata sulit sekali dibendung, tapi pernahkah aku takut kehilangan Allah?

Cinta juga membuat kita takut menyakiti yang dicintai. Susah payah kadang kita berusaha memberikan yang terbaik di mata makhluknya, tapi untuk Allah sekedarnya saja yang kita berikan. Naudzubillaah. Keimanan bukan terukur dari lisan melainkan dari hati. Siapa yang tahu dalamnya hati?

Dalam At-Taubah ayat 24 Allah berfirman :

"Katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik."

Manusiawi, jika seseorang merasa sedih saat kehilangan orang yang dia cintai. Sekelas Rosul pun bersedih saat ditinggalkan oleh orang terkasih. Tapi Rosul, tidak mendidik umatnya untuk larut dalam kesedihan. Lewat firman Allah di atas, kita harusnya mengerti bahwa tidak seharusnya kita meletakkan cinta kepada makhluk lebih tinggi daripada cinta kepada Allah.

Lantas bagaimana cara mencintai dengan benar? Mengutip kata-kata dr. Raehanul Bahrean dalam salah satu karyanya, hadiah terbaik untuk orang yang kita cintai adalah mendoakan mereka dan mengajak mereka untuk mencintai Allah. Sebab cinta kita kepada Allah secara tuluslah yang akan menjauhkan diri kita dari perbuatan yang dilarang Nya, dan dengan cinta yang kita punya untuk Nya, kita berharap Allah ridho, dengan ridho Allah lah surga bisa kita raih (aamiin)

Semoga kita bisa terus belajar untuk saling mencintai karena Allah. Semoga kita terus belajar bahwa waktu kita di dunia yang fana ini juga fana, hidup kita juga demikian, fana. Semoga kita terus belajar untuk mencintai kehilangan-kehilangan dalam hidup kita.

@Debs | untuk Mama dan orang-orang yang aku cintai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan