Langsung ke konten utama

Analogi

Kata Kang Abik lewat tokoh Subki di Api Tauhid "bumbu makanan paling nikmat itu adalah rasa lapar. Saat lapar, makanan apa pun akan terasa nikmat" . Aku setuju dengan pernyataan tersebut, ambillah contoh orang yang berpuasa. Seharian menahan nafsu, menahan lapar dan haus, waktu berbuka adalah waktu yang paling dinanti. Ketika seteguk air begitu berarti untuk membasahi kerongkongan yang mengering dan sebutir kurma menjadi pengganjal perut yang melilit. Kenikmatan berbuka meski dengan seteguk air mungkin tak dirasa oleh mereka yang tak puasa. Mereka yang tak puasa mungkin menanti bedug magrib tanpa rasa harap-harap sabar. Mungkin. 

Nah, dalam Islam, puasa itu merupakan suatu perisai yang membatasi kaum muslimin dari perbuatan yang berlebihan. Bahkan, untuk menjaga iman para pemuda lajang yang belum mampu menikah, puasa menjadi jalan tengahnya. 

“Wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau puasa sehari penuh yang dimulai sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari saja nikmat berbukanya tak terkira, gimana yang puasa sejak akil baligh sampai ijab kabul terucap ya? 
Kalau seteguk air dan sebutir kurma begitu disyukuri ketika bedug magrib ditabuh,  gimana rasa syukurnya untuk sebuah sentuhan setelah akad terucap ya?  

Bahagia dan syukurnya tentu hanya bisa dirasa oleh mereka yang berpuasa, dan telah berbuka. Kalau masih jombs, ya belum tahu kan?  Wk. 

-selintas pikir di tengah malam, yang dingin, enak nih nyeduh teh dan bikin indomie, tapi tidur aja lah, ndak ada yang nemenin...  Eh tjurhat lagi-

Rumah | Januari 2018 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan