Langsung ke konten utama

A Whole New World

2018 menjadi pintu, di mana aku akan memasuki dunia baru, dunia yang belum pernah aku jejaki di tahun-tahun sebelumnya. 

Bukan bentuk dari resolusi pergantian tahun, tapi semua seperti mengalir begitu saja. Ini rasanya seperti ketika aku memasrahkan apa jadinya hidupku kepada Allah, dan Allah membuka pintu-pintu yang selama ini tidak pernah aku ketuk, bahkan aku toleh pun juga tidak. 

8 Januari 2018, menjadi hari pertama kalinya aku datang lagi ke sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai murid aku datang kali ini, melainkan sebagai guru. 

Hehe lucu kalau dipikir-pikir, sekitar tujuh tahun lalu aku menangis ketika Ayahku menyarankan aku untuk kuliah di jurusan keguruan saja, setelah aku rasa tak punya lagi kesempatan menjadi mahasiswi fakultas kedokteran di tahun 2011. Aku benar-benar tidak mau menjadi guru, menurutku dulu profesi guru itu tidak keren dan membosankan, menghadapi anak-anak murid yang nakal. 

Tahun demi tahun berlalu, waktu berubah, aku pun juga berubah. Lewat perenungan panjang, setelah dua kali merasa terjebak di jalan yang kurang tepat, aku rasa guru adalah profesi terbaik untuk perempuan. 

Tapi ego masih menjajah diri, kataku kepada aku "kamu harus berjuang, jadi engineer atau perempuan kantoran itu lebih keren" . Maka seusai wisuda, tak terhitung berapa banyak lamaran aku sebar ke berbagai perusahaan yang kurasa sesuai dengan bidang keilmuan yang aku tekuni selama lima tahun ini. 

Rejeki adalah rahasia Allah, di mana Ia letakkan kita tidak pernah tahu. Tugas kita hanyalah berikhtiar. Maka bermodalkan ikhtiar dan doa, kukejar mimpiku itu, tidak terbatas di Sumatera, bahkan juga sampai ke Jawa. Namun seberapa keras pun kita memperjuangkan sesuatu, kalau Allah tak mentakdirkan itu untuk kita, maka kita tak akan pernah mencapainya. Begitulah yang aku yakini, hingga akhirnya di penghujung tahun 2017 kemarin aku menyerah. 

Banyak hal yang membuatku akhirnya berhenti berlelah-lelah mengejar sesuatu yang belum tentu Allah ridhoi atau tidaknya. Di penghujung Desember 2017, satu minggu setelah pulang dari Yogyakarta, Allah seperti membuka jalan untuk aku bisa menjadi manusia lebih bermanfaat dari bulan-bulan sebelumnya. 

Aku percaya, terjalinnya kembali komunikasiku dengan Intan (teman lama yang menawarkan lowongan guru di SD IT Insan Mulia) dan resignnya Maya (guru kelas 4) dari SD IT Insan Mulia adalah cara Allah mengantarkan aku ke pintu pengabdian ini. 

Sebelum aku kirim lamaran ke SD IT Insan Mulia, terlebih dulu kupinta Ridho orang tuaku, Allah maha baik, mengirim dua malaikat yang mampu memeluk hati gusarku pagi itu. Dengan linangan air mata dan sedikit drama, kuadukan lelah dan resahku pada Ayah dan Ibu, aku pun meminta ijin untuk murtad saja dari dunia perteknik kimiaan, aku ingin menjadi guru, kataku. 

Padahal, sepagi itu aku sendiri belum yakin. Apa iya aku bisa mengajar? Bisa bersabar? Tanpa pernah belajar micro teaching? Apa iya aku bisa? Tapi bermodalkan kecintaanku pada anak-anak yang lugu, dan pengalaman mengajari ketiga adikku dan sepupu-sepupu kecilku, aku berani melangkah. Bismillaah. Allah yang gerakkan hati, Allah yang buka jalan, pasti Allah juga yang mampukan. 

Maka setelah melewati proses seleksi berkas dan wawancara aku dinyatakan diterima sebagai guru di SD IT Insan Mulia, dan ditempatkan sebagai guru di kelas 3.

8 Januari 2018, masih jelas di ingatan bagaimana aku disambut lebih kurang 70 siswa siswi yang lucu-lucu. "Ado Ummi baru, ado Ummi baru" mereka saling berbisik ketika melihat aku berdiri di barisan guru di depan mereka. 

Seusai aku memperkenalkan diri, ketua yayasan bilang ke murid-murid kalau Ummi Deby akan mengajar di kelas 3, maka sontak semua murid kelas 3 bersorak "hore" . Mungkin bagi mereka, punya guru baru sama seperti punya baju baru kali ya, kok segirang itu 😂

8 januari 2018, hari di mana aku mengerti bahwa aku sudah sedewasa ini. Ketika ada makhluk-makhluk kecil yang butuh bantuanku untuk melakukan sesuatu, yang ingin selalu dekat denganku demi mencuri perhatianku, merasakan tangan-tangan kecil yang menggenggam tanganku. Hal-hal yang jarang aku rasakan belakangan, karena ketiga adikku sudah beranjak remaja dan sepupu - sepupu kecilku yang jarang bertemu denganku. Sekarang aku bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan semacam itu setiap hari. 

Terhitung 8 Januari 2018, aku menjadi Ibu untuk puluhan anak kecil 😂, setiap kali aku berjalan di lingkungan sekolah pasti ada segerombolan anak - anak berteriak "Ummi Debyyyyy" atau ada yang tiba - tiba menarik tanganku lalu menciumnya,  atau ada yang tiba - tiba mengadukan kenakalan siswa lainnya. Terhitung hari itu pula aku menyadari sesuatu, menjadi guru dan menjadi ibu adalah hal paling membahagiakan. Meskipun kadang dongkol juga menghadapi anak yang susah diatur, tapi aku percaya tiap anak punya karakter unik, bicara dengan mereka cukup dengan suara lembut dan dari hati ke hati, mereka pasti luluh 😂 (kalo dak luluh, aku panggil Ummi Yuni biar dicubit anaknya wkwkw) 

Tapi, seperti orang bilang tuh, in everything we do, people always have thing to say. Kalau untuk kalimat negatif, aku memilih menutup telinga. Tapi untuk pertanyaan - pertanyaan seputar "kok mau jadi guru? Kan gajinya kecil" aku selalu jawab dengan ini "kalau mau cari uang, aku dak akan jadi guru. Jadi guru itu, aku mau ngambil peran biar bisa bermanfaat." kedengarannya memang naif ya, tapi jujur itu. Tiga tahun di Politeknik Negeri Sriwijaya, dua tahun di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, aku jatuh cinta pada moto Universitas Sriwijaya wkwkw "Ilmu Alat Pengabdian" . Iya aku mau ngabdi dengan ilmu yang tidak seberapa ini. Intinya Lillaah, ganjarannya nanti pahala, in syaa Allaah. 

Selain kalimat tak mengenakkan hati, banyak juga orang - orang yang kurasa pikirannya sejalan denganku. Beberapa orang terdekatku mendukung, sebagian mereka juga bilang "menjadi guru artinya mengambil peran untuk mendidik generasi selanjutnya" . Iyaaah gitu maksudnya gitu, aku mau ambil tanggung jawab untuk menghebatkan generasi setelahku, walaupun sekarang yang aku didik anak orang lain. Sambil mendidik anak orang lain, aku juga sedang mendidik diriku sendiri untuk nanti bisa lebih baik lagi mendidik anakku sendiri (eh kok banyak kata mendidiknya) (eh kok udah ngomongin anak aja) 😂

Yaudah, segitu dulu curhatnya

©Debs | Rumah | Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan