Langsung ke konten utama

Tjurhat

Entah sudah berapa draf tulisan yang berakhir mengenaskan di tempat sampah. Bukan karena kehilangan ide di tengah jalan, sebenarnya. Namun rasanya, tulisan-tulisan itu lebih pantas dibuang daripada dibaca ulang. Huft. 

Belakangan, aku terlalu overthinking tentang apa yang dipikirkan orang-orang terhadapku. Bahkan untuk sekedar menuang rasa dalam tulisan saja, aku takut dihakimi :'D. Menyedihkan memang, now my sense of pleasure based on what others think of me, I'm not the master of my own happiness, I know. Poor me. 

Terlalu banyak 'kenapa' yang orang lain berikan, sedang aku sendiripun tak punya jawaban pasti untuk setiap 'kenapa' .  Aku hanya meyakini bahwa apa yang terjadi sekarang adalah karena Allah yang menggerakkan. Semesta tak berjalan begitu saja tanpa campur tangan-Nya.

Masalahnya, I can't keep myself from thinking (kayak kata Westlife ya wkwk) aku tidak bisa mengabaikan begitu saja pendapat orang lain, juga pertanyaan-pertanyaan mereka. Semakin sering datang kalimat 'kenapa', semakin sering pula aku menghukum diri dengan menyalah-nyalahkan langkah yang aku pilih. 

Ya itu lebih baik, daripada aku menyalahkan orang lain, instead I look inside myself and I ask 'kamu udah ngapain aja selama 23 tahun hidup?' . Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tersembunyi di balik kalimat tanya mereka yang lain atau di balik nasihat-nasihat bijak mereka. Aku tahu pertanyaan 'kamu udah ngapain aja' adalah pertanyaan paling kejam yang diajukan untuk seseorang.

Karena kenapa? Kalau orang lain menanyakan hal itu ke diri kita, artinya mereka tidak pernah benar-benar ada di samping kita, mereka pelit apresiasi terhadap kita, mereka tidak mengerti apa yang kita perjuangkan. Meskipun kelihatannya mereka adalah orang terdekat kita, tapi mereka tidak mengerti kita. Sedih ya. 

But rather than blaming others with their thoughts, atau menyalah-nyalahkan diri sendiri, aku seharusnya lebih baik berbenah diri.

Kalau ada orang yang bertanya atau membanding-bandingkan, mungkin mereka berniat memotivasi. Kalau ada orang lain yang seperti ikut mencampuri pilihan pribadiku, mungkin mereka teramat sayang, sehingga takut aku salah jalan. 

Kalau begitu, yang salah bukan mereka, hanya saja, aku yang kurang tepat mengartikan maksud mereka, dan menjadikannya beban pikiran, yang akhirnya membuat aku urung bahagia. Duh. 

Apa setiap orang pernah ada di posisi seperti ini ya? I wonder how they got through this situation. Aku rasa aku sedang tenggelam dalam ketakutan akan rasa bersalah, kalau-kalau apa yang sedang aku perjuangkan ini nantinya akan melukai orang lain. Well, I don't need advice, actually, aku hanya butuh seseorang yang mau mengajariku berenang agar aku tidak tenggelam lebih dalam lagi. 

Dan nampaknya tulisan ini semakin panjang tapi intinya entah apa. Baiknya aku sudahi saja :'D

Sleman | Desember 2017 | Deby kepada Deby

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan