Langsung ke konten utama

Pilihan Kita

Sadar tidak? Semakin dewasa, kita semakin sulit menentukan pilihan. Pilihan-pilihan yang kita buat kadang jatuh pada hal yang sebenarnya tidak benar-benar kita pilih dari hati. 

Pilihan-pilihan kita itu, seringkali merupakan bentuk konsekuensi kita sebagai makhluk sosial. Terlalu banyak 'katanya-katanya' yang menjadi faktor kita dalam memilih. 

Sehingga seringkali pula, kita memilih tapi tidak siap dengan lahirnya resiko atas pilihan kita. Yang begini, akan mendatangkan banyak andai-andai 'kalau saja dulu begini, dulu begitu' . 
Sadar tidak? Karena ketidaksiapan kita terhadap resiko, malah mengundang satu dosa baru yaitu 'andai-andai' . 

Sadar tidak? Kenapa kita sering terjebak pada pilihan yang 'seolah' salah? Karena dari awal, kita tidak melibatkan Allah dalam memilih, kita menimbang sesuatu lebih banyak menggunakan logika dan perasaan. Padahal, keduanya bisa saja salah, bahkan sangat salah. 

Lupa kah kita pada teladan yang diajarkan oleh Baginda Rasul? Dalam Dien yang telah disempurnakan oleh Rabb semesta alam, kita diajarkan untuk meminta petunjuk-Nya, melalui istikharah. 

Dari sahabat Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara /  urusan yang kami hadapai, sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. (HR. Al-Bukhari)


....rrr, baeklah ini sebuah tulisan yang sepenuhnya saya persembahkan untuk diri saya sendiri....

Komentar

Unknown mengatakan…
Bahkan untuk sekedar memilih tempat makan..
Hahhaha...

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan