Langsung ke konten utama

Selintas Pikir

Beberapa waktu lalu, saat kelulusan anak SMA, sempat terjadi obrolan semacam ini dengan Ibu saya. 

"Kenapa ya Ma anak sekolah jaman sekarang ga polos-polos lagi ky jaman dulu?" 

"Ga tau, terlalu banyak cari sensasi ya. Ga tau kenapa gitu Mbak" 

Jadi obrolan itu berawal dari ketika Ibu saya membuka laman facebook miliknya, di beranda facebook itu muncul lima orang remaja putri berseragam SMA penuh coretan. Bukan itu letak masalahnya, sebab dari jaman-jaman dulu juga budaya coret-coret seperti jadi tradisi di kampung saya. Saya pun pernah sebodoh dan se-alay itu, dulu. Tapi yang menyedihkan, kelima perempuan itu, menampilkan pose yang sangat tidak wajar, (maaf) posenya nungg*ng atau memperlihatkan (maaf) pant*tnya, di mana di rok SMA nya bertuliskan kata 'Lulus' . 

Pertanyan yang berputar-putar di kepala saya adalah, sebegitu penting kah pose dan foto tersebut di upload di media sosial, dan sebegitu murah kah cara merayakan kelulusan. 

Lama setelah percakapan dengan Ibu saya itu, saya melupakan remaja-remaja putri tersebut. Saya pikir, toh saya ga kenal, meskipun mereka satu kampung dengan saya. 

Lalu beberapa waktu kemudian, foto remaja-remaja putri tersebut muncul di salah satu akun official instagram Palembang, sontak saya kaget. Awalnya saya kira itu bukan remaja yang fotonya muncul di beranda facebook Ibu saya, tapi setelah melihat komentar dari netizen, remaja yang ada di foto tersebut adalah orang yang sama dengan mereka yang ada di beranda facebook Ibu saya. 

Saya sedih, tapi tidak tahu sedih untuk apa. Saya tidak kenal mereka, tapi bagi saya, mereka adalah saudara saya. Saya sedih, bahkan karena saya merasa tidak berhak untuk marah. Saya memikirkan bagaimana perasaan remaja putri yang fotonya tersebar di mana-mana? Ah tapi bukankah mereka sendiri yang memulai? Artinya mereka telah melegalkan foto tersebut menjadi konsumsi publik.

Saya ingin marah kepada remaja putri itu sebagaimana saya selalu memarahi adik saya kalau mereka berbuat yang tidak pantas, tapi siapa mereka, dan siapa saya. 

Lantas, kegelisahan ini saya coba bagikan ke sahabat terdekat saya, yang kebetulan dua di antaranya adalah guru. Satu guru SMP, satu lagi guru SMA, dan yang lainnya punya sepupu yang juga masih SMP tapi kenakalannya kelewat batas. 

Dalam diskusi-diskusi itu, lahirlah sebuah kesimpulan yang mungkin terlalu prematur. Bagi saya, remaja masa kini sudah teracuni oleh media sosial. Segala bentuk hidangan di media sosial, dilahap tanpa pilah pilih. 

Bagaimana tidak? Saya pernah mampir ke akun selebgram yang dalam pandangan saya sungguh tidak wajar, saya lalu melihat salah satu fotonya, dan menelusuri kolom komentar. Apa yang saya temukan di sana? Selalin cacian, saya menemukan banyak fans beliau yang tergolong masih di bawah umur. 

Lantas siapa yang salah? Saya tidak tahu siapa yang salah, sungguh. Satu-satunya yang sanggup saya salahkan adalah adik-adik kita yang salah memilih idola. 

Lantas apakah kesalahan itu sepenuhnya milik mereka? Menurut saya tidak, sebab dunia kita makin miskin remaja berprestasi, tapi kaya akan remaja yang mementingkan eksistensi. 

Atau sebaliknya? Netizen lah yang salah, karena membuat orang yang tidak baik tersebut mampu muncul ke permukaan? Hingga yang baik atau menengah baik, tenggelam namanya. Atau siapa yang salah? 

Entahlah siapa yang salah, sebab yang terpenting adalah mencari solusi. Sebab masalah kita tidak main-main beratnya. Sebab moral dan mental generasi di bawah kita, sebagian menjadi tanggung jawab kita. Iya kan? 

Kamu tidak mau hanya tinggal diam kan? Kesedihan dan keprihatinan tak akan mengubah apa-apa jika hanya sebatas perasaan. Jika kita belum mampu berbuat banyak, setidaknya kita tidak menjadi 'orang salah' yang diidolakan, atau menjadi 'idola yang salah' untuk adik-adik kita. 

Ngomong-ngomong, tulisan sepanjang ini saya gatau intinya di mana 😂 
Saya sendiri punya tiga adik, tapi yang satu agak nyeleneh, saya juga belum merasa berhasil jadi kakak yang baik, sebab masih sering ngomel dengan dahi berkerut~ 

Adik kandung saya memang hanya tiga, tapi adik yang lain, yang belum saya kenal di luar sana masih banyak. 

Saya mau terus belajar jadi kakak yang baik untuk mereka. Kamu juga ya? ❤

Mengutip kata-kata Ali bin Abi Thalib "Kezhaliman akan terus ada  bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karema diamnya orang-orang baik"

Nampaknya nasihat tersebut sudah cukup menjadi lecutan semangat bagi kita untuk terus berbuat baik dan menjadi baik. 

Rumah, sudah lewat jam buka puasa (jadi bisa mikir), 1438 H 

Komentar

Anonim mengatakan…
Kedewasaan anda tidak muncul secara tiba-tiba. Sedari dulu aku tahu kekaguman ku atas anda akan terbukti. Inilah anda.

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan