Langsung ke konten utama

Flashback : Perjalanan Kita

Barangkali karena menulis adalah terapi terbaik untuk menyembuhkan luka, atau mungkin barangkali karena menulis adalah bagian dari merekam perasaan, maka aku tergerak untuk menulis cerita ini, cerita tentang kita, kita.. iya kitaa :D

Berawal dari kesedihan yang meski sudah mengering namun masih meninggalkan bekas. Aku ingin mengenang perjalanan kita hingga sampai ke puncak Ijen. 

Well, dari tadi bilang 'kita' terus, siapa sih 'kita' ? 
Jadi, ini masih tentang aku dan kalian, teman-teman pemberaniku, tim LJ tangguh atau apalah yang pantas untuk menamai komplotan 'kita' ini. 

Kemarin, ketika aku mendengar kabar bahwa kalian benar-benar jadi berangkat, dan aku sudah pasti pulang, ada perih yang begitu hebat menghujam sisi logikaku, hingga membuatnya mati dan tak mampu berfikir jernih. Aku luar biasa iri membayangkan kalian sibuk menyiapkan perlengkapan mendaki, aku iri dengan apa yang bergemuruh di dada kalian, menunggu esok dengan penuh harap. Sementara aku, menyiapkan diri untuk 'pulang'. 
Astaghfirullah... bukankah ini nikmat tak terkira dari Tuhan? Yang memberiku kesempatan untuk bisa kembali berada di antara mereka yang mencintaiku? Semakin tak terkira, nyatanya Tuhan memberiku sakit ketika aku berada di tempat ternyaman dan ter-aman di muka bumi. 
Bukankah kalian pun aku tengah mencicip surga sebelum surga? Hanya saja di dimensi ruang yang berbeda, kalian dengan segera akan sampai ke puncak Merbabu, dan aku tersimpan aman di rumah dikelilingi mereka yang menyayangiku. 

Baiklah, aku tak boleh berlama-lama mengurung diri dalam duka eheheh . Lagipula mana bisa aku lama-lama bersedih bila pulang menjadi obat dari rentetan rindu yang menuntut sebuah jumpa. 

Ah iya, tadi mau cerita tentang Ijen ya? 
Baiklah, aku mulai....
Jadi perjalanan ke Ijen adalah perjalanan kedua bersama tim LJ. Aku ingat perjalanan kita ke Ijen itu sekitar bulan April 2015, tapi aku lupa tanggal berapa, waktu itu long weekend dan aku juga lupa liburnya dalam rangka apa.

Menurut rekaman memoriku, kita berangkat dari Surabaya pukul 20.00 WIB atau lebih, rombongan yang ikut sekitar dua puluh satu orang, kita menyewa dua mobil ditambah lagi rombongan yang konvoi dengan motor, kalau aku tidak salah ingat ada sekitar enam motor ya yang ikut? 

kenapa kita berangkat malam? Karena hari itu, kamis, jadwal kuliah kita sampai pukul 18.00 . awalnya kita berencana berangkat pukul 19.00 tapi rencana itu hanya menjadi wacana karena kita semua memilih datang telat dari waktu yang telah kita sepakati. 

Lalu kita berangkat ke Banguwangi, di tengah perjalanan ada begitu banyak hambatan dan masalah yang muncul, mulai dari awal salah satu ban mobil sewaan kita pecah. Kebetulan itu mobil yang aku tumpangi. Setelah perjalanan dilanjutkan, ban mobil yang aku tumpangi itu kembali pecah di daerah Jember, parahnya itu lewat tengah malam, pukul 02.00 dini hari. Karena sudah tidak ada tambal ban yang buka, maka para laki-laki mengganti ban pecah dengan ban cadangan. 

Kita kembali melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya kita jajan cimol di pom bensin. Masih aneh sampai sekarang, itu tukang cimol jualan kok sepagi itu ya? 

Baiklah, perjalanan dilanjutkan. waktu subuh tiba, kita sempat beristirahat di pom bensin. Tapi aku lagi-lagi lupa itu di daerah mana. Kita sempat tidur sebentar. Lalu melanjutkan perjalanan lagi. 
Kita tiba di daerah Banguwangi sekitar pukul 08.00 . kita kembali bingung menentukan arah, setelah sebelumnya beberapa rombongan berpencar di tengah perjalanan, kita kembali dihadapkan dengan masalah-masalah kecil. letupan-letupan emosi kecil akibat kelelahan. 

Aku lupa juga kronologinya, kenapa sampai malam kita tak kunjung sampai di kawasan Ijen. Hingga menjelang larut malam, di detik yang kita nantikan, angan-angan sudah melambung tinggi membawa kita melihat blue fire di puncak Ijen, sebuah tragedi maha hebat akhirnya pecah di tengah perjalanan kita. Mobil yang aku tumpangi kembali bermasalah. Kali ini bukan soal ban nya yang pecah. Tapi tiba-tiba mobil berhenti, mesin tidak bisa dinyalakan. Ini seperti kiamat kecil di tengah perjalanan kita, yang menelan hidup-hidup harapan kita malam itu. 

Dengan segera, kita menghubungi teman-teman di mobil lainnya, juga teman-teman yang mengendarai sepeda motor. Tragisnya lagi, ketika mobil yang satunya dan rombongan motor lain berbalik arah ke tempat kita terdampar, dua motor lainnya atau empat orang lainnya (Eric, Akmal, Faris, Ilham) justru telah dekat dengan kaki Ijen. Mereka memilih melanjutkan pendakian meskipun tanpa perlengkapan apa-apa, hanya membawa badan, karena seluruh perlengkapan berada di dalam mobil. 

Belum berhenti sampai di sana. Ketika semua rombongan tiba di lokasi, kita sempat bersitegang tentang langkah apa yang harusnya kita ambil. Kembali terjadi cekcok kecil yang tidak bisa dibilang sepeleh. Salah satu teman kita, Naufal, mengupayakan perbaikan mobil dibantu salah satu warga (Alhamdulillah, masih ada warga yang bangun sepagi itu, di tengah tempat sepi jauh dari pemukiman. Bagaimana bisa kalau bukan atas ijin Tuhan?)

Setelah menunggu berjam-jam, Naufal kembali. Dengan tangan hampa. Hanya membawa berita, mobil baru bisa ditarik ke bengkel besok pagi. 
Bersamaan dengan berita kurang baik itu, komting angkatan kita, Nizar membawa berita baik. Inti dari berita itu, berkat jaket dengan lambang ITS yang dikenakan Nizar ketika makan malam, membawanya bertemu dengan seorang bapak, alumni ITS yang...(panjang ceritanya) akhirnya meminjamkan kita rumah beliau. 
Cukup jauh dari TKP. Setelah berembuk lewat telepon, akhirnya diputuskan mobil sewaan yang masih sehat mengangkut rombongan pertama menuju rumah bapak tersebut. Sementara yang lain menunggu di pom bensin. 

Kalian ingat? Kita terdampar di pom bensin seperti gembel, tidur beralaskan tas, meringkuk, diganggu nyamuk, ditambah dengan perut lapar. Lengkap sudah. 

Singkat cerita, satu malam kita habiskan di rumah tumpangan bapak yang baik hati itu. Kita benar-benar tidak pernah menyangka akan ada twist di tengah perjalanan itu, kan? Semua susunan acara yang tertata rapi telah kita coret dengan tinta merah. Berubah 180 derajat. Berubah total. 

Pendakian yang harusnya kita lakukan hari Sabtu, berubah menjadi hari Minggu. Di mana dalam rencana sebelumnya, telah dijadwalkan bahwa Minggu kita sudah tiba di Surabaya karena hari Senin kita harus kembali kuliah. Tapi apa daya, kita hanya menyusun rencana di atas rencana Tuhan. Kita tidak pernah memikirkan kemungkinan terburuk seperti itu akan terjadi, tidak bahkan dalam mimpi buruk sekalipun.

kecewa tentu masih menggelayuti dinding-dinding hati kalian, aku tahu. Tapi ingatkah? Ketika kita beriringan menuju puncak Ijen? Sepagi itu, pukul 02.00.. gugusan bintang terasa dekat dengan ubun-ubun, udara dingin menusuk sampai ke tulang-tulang, saling memapah, menggenggam tangan, memberi semangat dengan guyonan, adalah bagian paling romantis dari perjalanan kita. Meskipun kelelahan, diburu waktu pulang, aku menikmati perjalanan itu. Kalian juga kan? 

Karena selayaknya sebuah perjalanan, tak mungkin tak ada hikmah di setiap jengkalnya. Bagiku, perjalanan kita ke Ijen adalah media pertama yang terbaik untuk kita lebih paham satu sama lain. Perjalanan ke Ijen adalah guru tak berupa yang mengajarkan kita bagaimana berfikir cepat di tengah himpitan masalah. Perjalanan ke Ijen adalah sejumput kenangan yang tak boleh kita lupakan. Mesti baik-baik kita simpan dalam ingatan, maka aku menuliskan ini. Jika suatu hari aku atau kalian rindu dinginnya puncak Ijen, terjalnya jalan menuju ke sana, menyengatnya bau belerang, kita bisa kembali membuka rekaman kenangan di sana, lewat foto dan tulisan ini. 

Terimakasih telah menjadi teman dalam perjalananku Renna, Naufal, Nining, Arter, Riskhany, Despus, Randy, Warih, Jojo, Ume, Riswati, Ipang, Faris, Dedik, Nizar, Donsi, Gilang, Ilham, Eric, Akmal,  Yoga, Sai. 

Besok, tim Merbabu akan melakukan perjalanan baru, membuat kisah baru untuk diingat, sayang aku tak bisa menjadi bagian dari kalian. di sini, di kamarku yang nyaman... aku mendoakan keselamatan kalian, sampai di puncak dan kembali ke Surabaya dengan selamat. Jangan ambil apapun kecuali foto, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak. 
Aku menunggu cerita dan foto awan dari kalian.

Anw, maaf. Aku tidak membawa laptopku pulang, jadi fotonya ini saja ya. Nyuri dari ig kalian heheh








With love 
Theresia Dee..

Pendopo, Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan