Langsung ke konten utama

Sepagi Ini

Sepagi ini gravitasi kasur terus menahan tubuhku untuk tak beranjak dari tempat semestinya. Sepagi ini aku ingin memaki kantuk yang memeluk erat kelopak mataku, hingga menggenggam cangkirpun tanganku tak mampu. Aku ber fuuuh pelan ketika genangan air yang mengisi cangkir kini berpindah ke lantai.

Sepagi ini debaran sisa dari buah bincang kita tadi malam masih terasa. Kecamuk rasa yang entah pantas disebut apa, aku tak bisa terlalu lama berpura-pura menyembunyikan, pun kimia dalam tubuhku terus bereaksi menghasilkan aksi tak lazim pada detak jantung.

Sepagi ini aku masih belum bisa pulih atas sakit yang kubuat sendiri. apa yang lebih buruk daripada jatuh cinta pada orang yang masih jatuh cinta dan tertawan pada masa lalunya?

“aku cemburu pada hantu dari masa lalumu, yang ke-tiada-an nya menjadi rindu, yang bayangnya seolah nyata di retina matamu, yang ke-tiada-an nya terus kau sesali.” Kataku dalam hati

Sepagi ini... Tuhan, aku memohon bisa mengganti memori di otakku. Agar kenangan jumpa pertama dulu hingga detik ini dapat kubungkus dan kubuang jauh-jauh.

Aku iri pada bumi, yang ribuan tahun berputar pada poros yang sama, mengitari matahari yang sama, meskipun perputarannya itu tak se inchi pun membawanya dekat pada sang kekasih.  Setidaknya Tuhan, bila tak bisa kuhapus rasa ini, bisakah Kau buat aku setegar bumi?

Sepagi ini aku belum bisa jatuh cinta pada pagi, seperti pagi-pagi sebelumnya. karena pagi ini akan berbeda, sebab matahariku telah pergi. Ia meninggalkan bumi dalam gelap. Sepagi ini, pagiku terasa gelap...

bukan #fiksibukanfiksi
ini #fiksiyangmemangfiksi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan