Langsung ke konten utama

Berita Pagi

    Sekian menit Diba memulihkan kesadarannya, ia beranjak menuju dapur. secangkir teh hangat mungkin bisa memperbaiki perasaannya yang kacau pagi ini.
Diba sedang mengaduk teh ketika presenter berita itu melaporkan 'seorang tahanan kabur setelah membunuh beberapa sipir' ia sontak menghentikan gerakan tangannya, tercenung sejenak menatap layar televisi di ruang keluarga. Sepuluh detik kemudian Diba berlari menuju ruang keluarga. Mengecilkan volume televisi, seolah takut orang lain mendengar berita itu. Padahal, di rumah ia sedang sendirian. Bahkan sekalipun ia mengecilkan volume televisi, orang-orang di luar sana tentu lah mendengar berita tersebut. Diba panik setengah mati, ia salah tingkah. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, tak berselang lama ia beranjak dari duduknya. Mondar mandir di depan TV, padahal sudah dua menit yang lalu berita di TV berganti topik. Diba putus asa, ia berteriak tertahan, menjambak rambutnya, membantingkan tubuhnya ke sofa. Kini ketakutan Diba sempurna merubahnya menjadi seperti orang gila. Ia meringkuk, menangis di sofa. Ia bicara seolah ada Revan di depannya. “Jangan, kumohon jangan lagi. Hentikan, Van.” Ia tergugu lagi, menggigit ujung-ujung kukunya. Kali ini ia bicara untuk dirinya sendiri “Kenapa psikopat itu harus keluar dengan cara seperti ini. Tuhaaaan.”

    Ia kembali teringat percakapan terakhirnya dengan Revan, ia berniat membantu Revan, ia berniat mengurangi masa tahanan Revan. Tapi pagi ini, Revan bertindak lebih cepat dari apa yang Diba rencanakan. Secepat itu, membunuh lagi.

    Diba benar-benar kalut, ia berusaha mengendalikan dirinya. Kini ia duduk memeluk lutut, mencoba berpikir dengan tenang meskipun sesungguhnya ia tak bisa tenang sama sekali. Ketakutan Diba bukan karena ‘jika Revan bebas, maka hidupku terancam’ tapi lebih ke ‘jika Revan bebas, maka tak ada yang boleh menyakitiku pun membuatku sedih’ . Diba takut orang-orang disekitarnya menjadi korban selanjutnya.

    Dalam keadaan itu, Diba tak bisa memutuskan apapun. Ia beranjak dari sofa, setengah berlari ia menuju kamar. meraih ponsel di tempat tidurnya. Tangannya gemetar menyentuh layar ponsel. Dua menit berlalu hanya untuk mencari kontak dengan nama ‘mama’ , Diba mengatur nafas sebelum ‘mama’ di seberang sana mengangkat teleponnya.
“Halo.”
“Ma, Diba mau ke sana sekarang. Mau cerita. Jangan bilang-bilang.”
“Bilang siapa, Dib?”
Tut.. tut.. tut... Diba menutup telepon. Ia tak setengah ragu untuk pergi ke rumah mama Revan. Tapi itu adalah pilihan yang paling mungkin untuk Diba. Ia tak ingin  mengambil resiko bila tiba-tiba Revan kembali ke rumah, dan ia hanya sendirian di rumah.

    Dengan tubuh yang masih gemetar, Diba meraih kunci mobil. Nafasnya tersengal, ekor matanya mengawasi sekitar. Diba seperti seorang yang dikejar hantu di siang bolong. Setelah berhasil menyalakan mesin mobilnya, ia menginjak pedal gas tanpa basa basi. Sepanjang perjalanan, berkali-kali Diba mengusap wajahnya. Dalam hati ia terus mengutuk dirinya. Dulu ia merasa menjadi wanita paling beruntung karena memiliki Revan. Dengan segala yang Revan berikan, ia merasa seperti seorang ratu. Namun takdir begitu kejam, sekejap saja membalikkan dunia Diba. Ia tak lagi menjadi ratu, tak lagi merasa beruntung. Sepintas terlintas pikiran gila, ‘tabrakkan saja mobil ini. Jika aku mati, Revan tak punya alasan lagi untuk menyakiti orang-orang di sekitarku.’ Tapi itu gila, tidak mungkin Diba lakukan. Mama sudah cukup tertekan sejak tahu keadaan putra kesayangannya ternyata psikopat, tak mungkin Diba tega menekan mama yang harus menerima kenyataan menantunya juga gila. Buru-buru Diba menepis pikiran gila itu.

    Satu jam Diba berhasil memacu kijang merahnya, menaklukan jalanan Jakarta yang cukup bersahabat pagi itu –setidaknya, Diba tak terjebak macet—. Sampailah ia di depan rumah mertuanya. Sekali lagi, sebelum turun dari mobil Diba mengatur kembali nafasnya, mencoba mengendalikan diri. Mama telah menunggu Diba di teras rumah, dari raut wajah wanita yang telah melahirkan suaminya itu, Diba bisa menebak, mungkin mama sudah tahu mengenai berita tadi pagi, mungkin mama juga tahu maksud kedatangannya. Diba, sekali lagi mengatur nafasnya, sebelum ia benar-benar turun, ia mulai memilih kata apa yang pertama harus ia ucapakan kepada mama.

    Setelah ia merasa emosinya cukup terkontrol, Diba membuka pintu kijang merahnya. Tepat ketika kaki kanannya menyentuh tanah, gerimis tipis membasahi pipi Diba, gerimis yang datang dari sudut matanya. “Revan...” bisiknya lirih.

Hai, Tulisan ini adalah bagian dari Story Blog Tour 2 dari OWOP 1. Saya, Deby Theresia , mengemban tugas menuntaskan episode ke 16 dalam rangkaian kisah ini.
Silakan dibaca juga episode pertama sampai kelima belas dan nantikan kelanjutannya di episode berikutnya. Cek tautan di bawah ini untuk membaca kisah lengkapnya.
Ep 1, Ketika Diba Kembali by Tutut Laraswati
Ep 2, Penarik Kerah Baju by Rifdatun Nafi'ah
Ep 3, Revan Rivantyo by Apriastiana Dian F
Ep 4, Aku Masih Mencintaimu by Helmi Yani
Ep 5, Merasakanmu Lewat Secangkir Cappucino by Apriliah Rahma
Ep 6, Penyakit Sialan by Dara Mustika Pratami S
Ep 7, Perbuatan Angin Malam by M. Fauzan Azhima
Ep 8, Slide Masa Lalu by Lilis Nurmalasari
Ep 9, Tiba-Tiba Diba by Satria Wannamba Putra
Ep 10, Memori yang Kembali by Nadhira Arini
Ep 11, Mesin Waktu Revan by Essenza Bachreisy
Ep 12, Cinta Tak Begini, by Afatsa
Ep 13, Revan Sang Pembegal AlFikri Fauzi
Ep 14  Nada Air Mata Adiba by Deni Firman S
Ep 15 Final Escape by Doddy Rakhmat
Nantikan Episode 17 selanjutnya di Blog www.kaisarsurga.wordpress.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan