Sesaat setelah aku memarkir sepeda anginku, aku berjalan cepat menuju serambi depan masjid kampusku. Aku tak memperdulikan sekitar. Lalu lalang perempuan dan laki-laki yang keluar masuk parkiran bukan prioritas perhatianku. Aku makin mempercepat langkahku, ketika melihat beberapa perempuan berkerudung labuh itu sudah duduk membentuk lingkaran, memegang masing-masing mushaf mereka.
Usai mengucap salam, aku ikut bergabung dengan mereka, dalam lingkaran yang katanya malaikat pun iri dibuatnya, dalam lingkaran yang merupakan tempat ternyaman untuk kembali setelah rumah, dalam lingkaran yang di dalamnya ada beberapa perempuan dengan tujuan yang sama; menjadi bidadari di surga Nya.
Menit bergulir menjadi jam, adzan isya kemudian menjadi jeda dalam pertemuan kami malam itu. Semua teman-temanku bergegas ke tempat wudhu, demi mensucikan diri sebelum menghadap Rabb nya. Lalu tinggallah aku bersama salah seorang temanku, kodrat kami sebagai wanita, Allah berikan kesitimewaan untuk tidak shalat di waktu tertentu.
Aku duduk bersandar di tiang besar penyangga masjid, sesaat perhatianku tersita oleh ponsel. Lalu mataku tanpa sengaja, menangkap sahabatku tengah menatap lingkaran di sayap kanan masjid yang baru saja pecah. Beberapa laki-laki berjalan cepat, menggenggam mushafnya, menuju lemari besar di pojok kiri masjid.
Aku menyikut lengannya, "cari siapa?" aku mencoba menggodanya.
Ia tersipu malu, salah tingkah, mimik mukanya berubah kikuk.
"Entah apa yang salah, dalam kepalaku seolah ada kaset kusut yang diputar berulang, mempertontonkan wajahnya dengan senyumnya yang kadang menyembunyikan deretan giginya yang berbaris rapi."
"Apa yang kupikirkan? Bodoh sekali." Gumamnya pelan.
Aku mulai paham maksud sahabatku, kembali aku menggodanya "yang mana sih orangnya?"
"Aku tidak mungkin menemukannya dalam kerumunan itu, tidak. Duniaku dan dia seolah ada sekat, hanya luruh dalam beberapa episode, tapi tidak untuk episode kali ini. langkah kami tidak mungkin bertemu di majelis ilmu ini. Seberapa besarpun kemungkinan kami bertemu di tempat lain, tapi untuk bertemu di tempat ini, kurasa kemungkinan itu nihil."
Paparnya panjang lebar. aku mengerutkan kening, bingung.
"Ia bukan lelaki jahat, bukan lelaki nakal, pun lelaki yang tak paham agama. hanya saja, ia punya sebuah pemahaman yang sampai saat ini belum bisa aku pahami. Ia memiliki sebuah pemahaman yang berbeda dengan apa yang aku yakini." tambahnya lagi.
"Lalu kenapa harus dia? Tidak adakah orang lain yang bisa kau pikirkan selain dia? Setidaknya yang mungkin lebih baik darinya?"
Dia tertawa mendengar ucapanku barusan,
"Bukan tidak mungkin, nanti ia juga akan mengerti. Mungkin belum sekarang, bahkan mungkin bukan aku yang membuatnya mengerti, meskipun sampai saat ini, aku berharap orang yang bisa membenahi kekeliruannya nanti adalah aku.
meski aku tak yakin, adakah aku dalam peta-peta hidupnya. Adakah aku dalam rencana masa depannya. Aku tak perlu tahu tentang itu. Biarlah itu urusannya, masalah takdir itu urusan Tuhan. Biarlah yang rahasia tetap rahasia, yang terpenting, namanya ada dalam doa-doa baik yang kusampaikan pada Tuhan."
Aku semakin bingung dengan apa yang dimaksud sahabatku. Namun demi melihat rona semangat di wajahnya, aku memilih membunuh satu demi satu protes yang siap aku layangkan kepadanya.
"Setiap orang baik itu akan dipertemukan dengan orang baik. Aku yakin, kelak Tuhan akan mempertemukanku dengan yang terbaik."
Katanya lagi.
Aku tersenyum, mencoba memahami.
"Dan kau tahu? Yang terbaik dibentuk oleh proses dan waktu. Aku melihat potensinya untuk terus bergerak mendekat kepada Tuhan, aku berharap sebagian dari doa-doaku semakin mempercepat laju pergerakannya menuju kebaikan. Aku yakin, doa bisa menganulir takdir. Kau juga percaya kan?"
Ia menggenggam tanganku erat.
Aku tak punya kuasa untuk berkata apa-apa lagi. Hanya mampu mengangguk, mengiyakan semua keyakinannya.
Semoga Tuhan, adalah satu-satunya pihak yang terlibat dalam urusan jatuh hatimu pada pria itu, teman. Semoga Tuhan, terus menjawab doa-doa baikmu, dan semoga Tuhan, mempertemukanmu dan dia saat kalian berada di puncak keimanan, di waktu yang tepat, dalam keadaan diri kalian yang telah --sama-sama-- menjadi baik.
karena perasaan, tidak pandang bulu. Ia bagai serbuk sari yang dibawa kumbang terbang. Entah di kepala putik yang mana ia akan jatuh, untuk kemudian bersemi, lewat doa-doa yang kau panjatkan.
Kita hanya perlu percaya bahwa setiap orang pernah melewati sisi kelam dalam hidupnya. seseorang yang mungkin tak baik hari ini, belum tentu ia akan buruk selamanya.
Surabaya, Manarul, September 2015
Usai mengucap salam, aku ikut bergabung dengan mereka, dalam lingkaran yang katanya malaikat pun iri dibuatnya, dalam lingkaran yang merupakan tempat ternyaman untuk kembali setelah rumah, dalam lingkaran yang di dalamnya ada beberapa perempuan dengan tujuan yang sama; menjadi bidadari di surga Nya.
Menit bergulir menjadi jam, adzan isya kemudian menjadi jeda dalam pertemuan kami malam itu. Semua teman-temanku bergegas ke tempat wudhu, demi mensucikan diri sebelum menghadap Rabb nya. Lalu tinggallah aku bersama salah seorang temanku, kodrat kami sebagai wanita, Allah berikan kesitimewaan untuk tidak shalat di waktu tertentu.
Aku duduk bersandar di tiang besar penyangga masjid, sesaat perhatianku tersita oleh ponsel. Lalu mataku tanpa sengaja, menangkap sahabatku tengah menatap lingkaran di sayap kanan masjid yang baru saja pecah. Beberapa laki-laki berjalan cepat, menggenggam mushafnya, menuju lemari besar di pojok kiri masjid.
Aku menyikut lengannya, "cari siapa?" aku mencoba menggodanya.
Ia tersipu malu, salah tingkah, mimik mukanya berubah kikuk.
"Entah apa yang salah, dalam kepalaku seolah ada kaset kusut yang diputar berulang, mempertontonkan wajahnya dengan senyumnya yang kadang menyembunyikan deretan giginya yang berbaris rapi."
"Apa yang kupikirkan? Bodoh sekali." Gumamnya pelan.
Aku mulai paham maksud sahabatku, kembali aku menggodanya "yang mana sih orangnya?"
"Aku tidak mungkin menemukannya dalam kerumunan itu, tidak. Duniaku dan dia seolah ada sekat, hanya luruh dalam beberapa episode, tapi tidak untuk episode kali ini. langkah kami tidak mungkin bertemu di majelis ilmu ini. Seberapa besarpun kemungkinan kami bertemu di tempat lain, tapi untuk bertemu di tempat ini, kurasa kemungkinan itu nihil."
Paparnya panjang lebar. aku mengerutkan kening, bingung.
"Ia bukan lelaki jahat, bukan lelaki nakal, pun lelaki yang tak paham agama. hanya saja, ia punya sebuah pemahaman yang sampai saat ini belum bisa aku pahami. Ia memiliki sebuah pemahaman yang berbeda dengan apa yang aku yakini." tambahnya lagi.
"Lalu kenapa harus dia? Tidak adakah orang lain yang bisa kau pikirkan selain dia? Setidaknya yang mungkin lebih baik darinya?"
Dia tertawa mendengar ucapanku barusan,
"Bukan tidak mungkin, nanti ia juga akan mengerti. Mungkin belum sekarang, bahkan mungkin bukan aku yang membuatnya mengerti, meskipun sampai saat ini, aku berharap orang yang bisa membenahi kekeliruannya nanti adalah aku.
meski aku tak yakin, adakah aku dalam peta-peta hidupnya. Adakah aku dalam rencana masa depannya. Aku tak perlu tahu tentang itu. Biarlah itu urusannya, masalah takdir itu urusan Tuhan. Biarlah yang rahasia tetap rahasia, yang terpenting, namanya ada dalam doa-doa baik yang kusampaikan pada Tuhan."
Aku semakin bingung dengan apa yang dimaksud sahabatku. Namun demi melihat rona semangat di wajahnya, aku memilih membunuh satu demi satu protes yang siap aku layangkan kepadanya.
"Setiap orang baik itu akan dipertemukan dengan orang baik. Aku yakin, kelak Tuhan akan mempertemukanku dengan yang terbaik."
Katanya lagi.
Aku tersenyum, mencoba memahami.
"Dan kau tahu? Yang terbaik dibentuk oleh proses dan waktu. Aku melihat potensinya untuk terus bergerak mendekat kepada Tuhan, aku berharap sebagian dari doa-doaku semakin mempercepat laju pergerakannya menuju kebaikan. Aku yakin, doa bisa menganulir takdir. Kau juga percaya kan?"
Ia menggenggam tanganku erat.
Aku tak punya kuasa untuk berkata apa-apa lagi. Hanya mampu mengangguk, mengiyakan semua keyakinannya.
Semoga Tuhan, adalah satu-satunya pihak yang terlibat dalam urusan jatuh hatimu pada pria itu, teman. Semoga Tuhan, terus menjawab doa-doa baikmu, dan semoga Tuhan, mempertemukanmu dan dia saat kalian berada di puncak keimanan, di waktu yang tepat, dalam keadaan diri kalian yang telah --sama-sama-- menjadi baik.
karena perasaan, tidak pandang bulu. Ia bagai serbuk sari yang dibawa kumbang terbang. Entah di kepala putik yang mana ia akan jatuh, untuk kemudian bersemi, lewat doa-doa yang kau panjatkan.
Kita hanya perlu percaya bahwa setiap orang pernah melewati sisi kelam dalam hidupnya. seseorang yang mungkin tak baik hari ini, belum tentu ia akan buruk selamanya.
Surabaya, Manarul, September 2015
Komentar