Langsung ke konten utama

Yang Merugi

Tak terasa ramadhan beranjak pergi meninggalkan, padahal rasanya baru kemarin aku menyambutnya di teras rumah. 
Tapi kenapa hati rasa kekeringan, padahal Allah telah suguhkan nikmat tak terhingga. 
Aku merasa tak ada perubahan, entah salahnya di mana, namun jawabnya kutemui dalam kultum malam ke lima. 

Seorang penceramah yang menjawab pertanyaanku lewat potongan hadits ini..
“...Sungguh rugi seseorang yang bertemu dengan Ramadhan, lalu Ramadhan itu berlalu darinya sebelum dosa-dosa dirinya diampuni,....” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim)
Dalam kultum yang ia sampaikan, bahwa ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Bila kita masih setengah hati dan tak bersungguh-sungguh dalah ibadah, termasuklah kita orang yang yang merugi. Terlebih lagi bila kuantitas dan kualitas amalan malah menurun di bulan ini, qiyamul lail kita tinggalkan, tilawah kita malas, lebih banyak tidur daripada ibadah. Lalu kita bertanya-tanya kenapa masih ada godaan syaitan di bulan yang katanya syaitan itu dibelenggu? 

Sebenarnya kemalasan dan kefuturan kita bukanlah semata karena bisikan dan godaan syaitan. Itu mungkin hanya hasil didikan syaitan yang mendikte kita lewat nafsu selama sebelas bulan yang lalu. Jadilah tabiat kita lalai. Maka, pada bulan ini harusnya kita memenangkan kembali diri kita. Mengalahkan hawa nafsu, mengembalikan tabiat baik kita. Hingga nanti tiba di hari kemenangan, kita adalah sebenar-benarnya pemenang. Selagi syaitan itu dibelenggu, yuk kita didik nafsu kita, jangan biarkan terus-terusan nafsu yang mendidik kita. 

Jauh-jauh hari, kita menunggu kedatangannya
Jauh-jauh hari kita seolah mengharapkannya
Setibanya ia di ambang pintu rumah kita
Adakah kita menyambutnya dengan penuh sukacita? 
Ini tentang bulan yang salah satu malamnya lebih baik dari seribu bulan
Tentang bulan yang awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan, akhirnya adalah kebebasan dari api neraka 
Sudahkah kita yakin mendapat rahmat?
Bila tidur lebih banyak daripada shalat
Bila online lebih sering daripada shalawat
Bila masih jadi pelaku maksiat 
 
Yakinkah kita kan dapat ampunan?
Bila gadget tak lepas dari tangan
Bila al-qur'an jauh dari genggaman
Bila shalat malam ditinggalkan
 
Akankah kita termasuk golongan yang terbebas dari api neraka?
Bila lidah masih ucapkan dusta
Bila mata dan telinga tak terjaga
Bila anggota tubuh yang lain tak iku
t puasa

#catatan ini ditujukan untuk yang menulis :")

Komentar

Anonim mengatakan…
Uhuk... tersedak membacanya kak. Makasih Mengingatkan ��
Deby Theresia mengatakan…
Kembali kasih, Jun :*

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan