Langsung ke konten utama

Kita Peduli (?)

coba lihat ke belakang, berapa tahun kita hidup di bumi Allah? jika kita seumuran kira-kira 19 tahun 11 bulan kita menapaki kehidupan. selama kurun waktu 19 tahun itu ada berapa banyak kontribusi kita terhadap sesama? seberapa sering kita menolong sesama? jika jawabannya tidak pernah, mungkin kita belum pantas dikatakan hidup. karena hidup bukan hanya tentang kebahagiaan diri sendiri, bukan hanya tentang kenyamanan diri sendiri tapi hidup adalah berbagi rasa. bagaimana kita bisa menikmati kehidupan bila kita masih berdampingan dengan kemiskinan? berdampingan dengan kemelaratan? 

mungkin kita lupa, saudara kita di luar sana bertahan hidup ditengah konflik negara mereka, bertahan hidup tanpa orang tua, bertahan hidup di bawah hujan peluru, bertahan hidup dengan perut lapar? tak terketuk kah hati melihat saudara kita yang hidup dalam zona 'war' ? setidaknya bila tak bisa berkontribusi nyata dalam membantu mereka cukuplah kuatkan hati mereka dengan doa-doa yang kita sampaikan kepada pemilik kehidupan ini. setidaknya bersyukurlah kita hidup di negara yang aman, memiliki orang tua dan keluarga, tak ada suara tembakan dimana-mana. teman, mungkin kalian fikir terlalu jauh membicarakan negara lain tapi ingatlah tak ada jarak yang cukup jauh karena kita masih berpijak di bumi yang sama, masih dinaungi oleh langit yang sama, di sinari matahari yang sama dan terlebih lagi jika mereka muslim, kita memiliki aqidah yang sama, satu sesembahan, Allah yang maha agung.

Dan bila kita menengok kembali ke bumi pertiwi tercinta ini, yang orang bilang tanah nya tanah surga yang mebuat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. tapi mengapa rakyatnya hidup sangat kontras? dibalik gedung-gedung yang menjulang tinggi nyaris mencakar langit ada ratusan keluarga kelaparan, ratusan anak putus sekolah, ratusan nyawa terkapar sakit tanpa ada pengobatan.
ini tugas pemerintah? mungkin!! tapi kita yang memiliki hati bukan tak boleh peduli dengan mereka. karena mereka adalah bagian dari kita. 

teman, coba sesekali kita belajar dari mereka yang hidup dalam lingkungan kumuh, putus sekolah, kelaparan dan sebagainya tapi mereka masih bisa terlihat bahagia, mengapa? karena mereka mampu memaknai kehidupan dengan cara yang sederhana, berbeda dengan kita yang mungkin masih mengeluhkan tugas-tugas kuliah, mengeluhkan status kita sebagai 'job seekers', mengeluhkan penghasilan kita yang pas-pasan. sekali lagi ingatlah mereka, disaat kita mengeluh dengan tugas kuliah, mereka bersyukur sempat mencicipi duduk di bangku sekolah dasar, saat kita mengeluhkan penghasilan kita yang pas-pasan, mereka bersyukur dengan uang yang hanya cukup untuk makan sehari. 

jadi bersyukurlah maknai kehidupan dengan cara sederhana, bersyukurlah nikmati hidup yang saat ini kita punya. Bersyukurlah dengan berbagi.. Bukankah Rosulullah bersabda "..Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama” 

Teman, ingatkah dengan kata-kata Buya Hamka?
"kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup..." coba kita maknai sepenggal kata-kata beliau. kita diciptakan Allah lebih dari makhluk lainnya, memiliki akal, nafsu dan perasaan. yang patut di asah bukan hanya akal, tapi perasaan juga harus tajam. mari kita perbaiki diri menjadi manusia yang peka terhadap dinamika kehidupan, peka terhadap perubahan sosial, mari latih diri sedini mungkin menjadi manusia yang lebih bernilai di mata Allah dengan memberikan kebermanfaatan kepada sesama.

Kebermanfaatan hidup berkaitan erat dengan kata 'volunteer'? namun sudahkah kita memaknai 'volunteer' dengan tepat? siapapun bisa menjadi volunteer namun jiwa kerelawanan hanya dimiliki oleh orang-orang yang berlebih, minimal berlebih rasa.. rasa kepedulian terhadap sesama. 
semoga kita termasuk orang-orang yang lembut hatinya dan termasuk orang-orang yang berlebih rasa..

Teman, menjadi volunteer memang menyita waktu santai kita, mungkin menghabiskan sedikit uang kita, juga pasti menguras tenaga kita.. Tapi bila itu Lillah, semua lelah kan berbalas surga, insyaAllah..
ingatlah dengan janji Allah "Dan barang-siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah, niscaya ia akan menerima pahala-nya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarah, niscaya ia akan menerima balasannya"(Q.S. Az-Zalzalah ayat 7-8)
Tak akan ada kelelahan yang sia-sia di mata Allah..

Teman, Dhuafa disekitar kita bukan karena suatu kebetulan tapi itu cara Allah memberi kesempatan kita untuk beramal nyata dalam membantu dan memberdayakan mereka..

Teman, mari kita gemparkan dunia dengan gerakan #1hari1kebaikan.. 
Mari buat #IndonesiaBerdaya karena sudah saatnya #IndonesiaMoveOn
indonesia bisa move on? Bisa!! Bila kita mau bergerak dan peduli mulai hari ini..

-pasca training Dompet Dhuafa Volunteer, sebagian kata-kata di atas diadopsi dari beberapa pembicara dan motivator hebat yang mengisi acara DDV pada tanggal 3-4 Mei 2014. semoga tulisan di atas dapat di aplikasikan dalam langkah-langkah amal perbuatan terutama oleh penulisnya, semoga kita mampu menjadi umat kebanggaan Allah-





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan