Langsung ke konten utama

Pejuang Terang : Tentang PLN (Part III)

Melanjutkan cerita dari Part I & Part II, kali ini aku akan cerita tentang serunya tes wawancara. Kenapa seru? Karena dari awal nungguin hasil tes kesehatan aja udah deg-deg an. Pengumumannya lamaaaa banget. Aku sampe lupa kalo pernah ikut tes, saking lamanya -_-

Setelah menunggu kira-kira tiga minggu lebih, keluarlah hasil tes kesehatan. Namaku masih Allah ijinkan berada di antara peserta yang lolos ke tahap selanjutnya; wawancara. Karena terlalu bahagia, aku sampe sujud syukur di kamar. Wkwkw lebay ya? Aku cuma seneng aja, oh berarti aku sehat dong, kata sebagian orang, tes kesehatan PLN itu terkenal 'angker' . Jadi kalau aku lolos, bisa dipastikan aku sehat dong? πŸ˜‚ 
Ngga gitu ya? Ya tapi ga apa-apa laah, aku anggap aja gitu. 😝

Jarak dari pengumuman sampai ke waktu tes wawancara itu kurang lebih 25 hari. Lama banget kan. Ku disuruh nunggu lagi dengan sabar. Dalam waktu 25 hari itu, perasaanku campur aduk, deg-deg an itu pasti, ragu juga ada, sedih juga ada. Kenapa ragu dan sedih? Nanti aku cerita di part selanjutnyaa ehee. 

Tapi waktu yang lumayan lama itu, ga aku sia-siakan begitu aja. Aku mulai rajin baca lagi, seputaran tes wawancara. Baik dari buku yang aku punya, maupun dari cerita orang di blog-blog pribadi mereka. Aku juga sempet tanya-tanya tentang wawancara PLN ke Nining dan April, dua temenku yang sudah lulus tahap wawancara. 

Intinya sih sama, jujur dalam setiap menjawab pertanyaan, tatap mata pewawancara saat dia bertanya atau kita menjawab pertanyaan, posisi duduk tegap tapi jangan tegang. Banyak deh, baca di buku aja ya 😢 . Atau kalau kamu kuliah semester akhir, biasanya ada pembekalan tentang job interview, jangan lupa ikutan. Ilmunya manfaat banget tuh. 

Nah, untuk pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara, bisa jadi berbeda tiap orangnya. Tapi berikut aku rangkumkan, kira-kira beginilah hal-hal yang ditanyakan, dan yang sempat aku ingat selama aku diwawancarai waktu itu

Aku diminta memperkenalkan diri, di sini aku kenalkan nama, usia, asal daerah, hobi, riwayat pendidikan, cerita tentang keluarga inti.

Setelah memperkenalkan diri, seorang Bapak yang aku tidak tahu namanya, menanyakan seputar Tugas Akhir/Skripsi yang kukerjakan. Di sini dikupas tuntas, mulai dari kendala apa yang aku hadapi, apa yang aku lakukan untuk mengatasi kendala tersebut, dan banyak lagi. 

Oh iya, dalam ruang wawancara terdapat tiga orang, dua orang perempuan dan satu laki-laki. Perempuan yang satunya, ga ikut nanya, dia malah duduk di belakangku. 

Lanjut lagi, 
Setelah lama berputar di tugas akhir, si Bapak bertanya mata kuliah dengan nilai terendah, kenapa bisa dapat nilai segitu, terus usaha apa untuk memperbaikinya.

Aku juga diminta menyebutkan prestasi apa yang pernah aku raih. Nah ini agak susah. Wkwkw karena aku selama kuliah minim prestasi πŸ˜‚ . Jadi aku sebutin aja aku pernah juara 3 OSN tingkat kabupaten waktu SMA. Prestasi ga harus di bidang akademik kok, aku juga sebutin prestasi-prestasiku di dunia literasi. 

Setelah aku cerita prestasi, gantian Mbaknya yang nanyain aku. Dia menanyakan seputar hobiku menulis, sampai bisa jadi buku, dia menanyakan darimana bisa dapat ide nulis. Ya seputar itulah. 

Hal lain yan ditanyakan adalah tentang organisasi, aku ditanyain pernah memegang amanah apa selama di organisasi, adakah kesulitan mengatur waktu belajar dan berorganisasi.

Ditanya juga tentang pernahkah aku membantu orang yang tidak aku kenal. Pas aku jawab pernah, mereka minta diceritakan.

Aku juga ditanyain pernah ga jadi asdos? Aku jawabnya, ga pernah. Tapi pernah jadi aslab. Nah di sini aku ditanya-tanya, kok mau jadi aslab? Kan jadwalmu sibuk. Ya aku jawab aja karena aku suka pelajarannya dan lab komputasi juga berkaitan dengan lab dalpro tempat penelitian skripsiku πŸ˜‚ . Sekenanya banget wkwkw . Dari cerita ini juga, aku ditanyain tentang metode apa yang aku terapkan ke praktikan. Huah panjang deh. 

Tapi ada satu pertanyaan yang di luar dugaanku. Si Bapak bertanya tentang pandanganku terhadap isu keberagaman, dan sesuaikah pancasila diterapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia? Wkwkw ga nyangka, kenapa tiba-tiba Bapaknya menanyakan hal itu. Setelah mendengar jawabanku, Bapaknya tanya lagi. Pandanganku terhadap upaya-upaya bom bunuh diri yang mengatasnamakan suatu golongan. Beliau nanya lagi, pernahkah aku berada di lingkungan yang orang-orangnya anarkis, gimana seandainya kamu berada di tengah mereka? Upaya apa yang kamu lakukan untuk mengurangi ke anarkisan mereka? 

See, banyak banget kan yang bisa jadi bahan pertanyaan saat wawancara. Kalau menurutku, pertanyaan wawancara itu bisa berkembang dari satu pertanyaan awal. Tergantung dari jawaban kita. Aku juga ga tau apa yang dinilai dari wawancara πŸ˜‚ . Karena yang aku lihat, selama aku menjawab pertanyaan, Mbak dan Bapak pewawancara itu sibuk mencatat sambil menatap mataku~ tsaaaah wkwk

Aku juga ga tau sih, yang aku jawab itu tepat atau ngga untuk menjawab pertanyaan. Tapi apa yang aku jawab adalah apa yang aku alami, dan yang aku tahu. Jika pun nanti aku tidak lolos di tahap ini, aku senang karena rasa-rasanya tak ada kebohongan yang aku ceritakan. Jadi, kalaupun aku ditolak, aku ditolak karena memang aku bukan orang yang mereka cari. 

Sebelum wawancara berakhir, Bapak tadi menjelaskan tentang hak dan kewajiban selama menjadi karyawan PLN, termasuk juga besaran gaji yang akan aku terima (kalau lolos). Aku ditanya juga, calon suamiku orang PLN atau bukan? (Mas, kamu bukan orang PLN kan mas?) Wkwkwkw . 

Aku juga diberi kesempatan untuk bertanya. Yang aku tanyakan adalah; ada kemungkinan ga peserta diklat ga lolos jadi karyawan? Kalau ada, karena apa? . Bapaknya menjawab dengan singkat dan jelas. Dengan begitu, berakhirlah sesi wawancara, tak terasa aku berada di bilik itu selama +- 75 menit. 

Setelah menjawab pertanyaanku, Bapak pewawancara sempat memberi wejangan kepadaku, beliau bilang kalau aku nanti diterima, harus tetap menulis. Katanya, nanti selama di lapangan, aku akan semakin banyak belajar hal baru, dan harus aku bagikan lewat tulisan. Bapaknya juga bilang, kalau nanti diterima/pun ngga, aku harus banyak belajar dan belajar lagi, baik di bidang tekim ataupun hal apapun di luar disiplin ilmu kuliahku. Begitu kata Bapaknya. 

Dengan nasihat tersebut, wawancara pun benar-benar berakhir. Sebelum keluar, aku kembali menjabat tangan dua perempuan di bilik itu, yang Bapaknya ga aku jabat (pas masuk juga gitu, sebelum duduk aku sempat jabat tangan dulu. Sebab kata orang-orang, jabat tangan itu bisa dikatakan wajib. Oke sip)

Yodah, abis ceritanya. Sudah aku ceritakan tahapan tes nya. Semoga tulisan Tentang PLN dari Part I-III ini bisa bermanfaat untuk orang lain, sekurang-kurangnya bermanfaat untuk yang menulis. 

Eh, jangan lupa doakan daku. Doain aja yang terbaik buat Deby. Apapun hasilnya nanti, pasti aku lanjutkan cerita di blog ini.

With ❤

Debs

Bonus pap kartu peserta tes wkwkw

Komentar

Unknown mengatakan…
Terimakasih sudah berbagi..
Gud luc

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan