Langsung ke konten utama

Cita-Cita Ayah

Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan katanya, bentuk cinta seorang ayah pada anaknya ditunjukkan jauh sebelum anak tersebut lahir; dengan memilihkan calon ibu yang baik misalnya. 

Sebagai seorang anak, aku merasakan cinta ayah kepadaku begitu besar. Meskipun ayahku bukan superhero. Aku pernah menuliskan ini di salah satu catatan Facebookku (yang sudah hilang sejak setahun yang lalu), aku lupa judulnya apa. Inti dari tulisan itu 'Ayahku bukan lelaki tanpa celah, dia bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, tapi aku mencintainya' . Kami kadang berdebat, layaknya seorang musuh, aku pernah membencinya habis-habisan. Kami kadang berdiskusi, layaknya seorang teman, saling memberi semangat. Kami sering berbeda pendapat, aku maunya ini, ayah maunya itu. Aku benci ayah, kadang-kadang. 

Eh, aku membenci ayah di banyak keadaan, sebenarnya. Salah satunya ketika aku harus menjalani tiga tahun hidupku di dunia perkuliahan yang tak pernah aku bayangkan bahkan di mimpi terburukku sekalipun. Aku membenci ayah ketika dia memaksaku melanjutkan jenjang pendidikan ke strata satu ketika aku telah berhasil melewati diploma tiga. 

Aku lebih sering mengutuk keadaan dibanding bersyukur. Aku lebih banyak menyalahkan takdir dibanding intropeksi diri. Aku menyalahkan ayah ketika aku lagi-lagi jenuh dengan perkuliahan yang rasanya begitu susah untuk dijalani. 

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri, adakah di muka bumi ini selain aku, yang merasa benci dengan apa yang tengah ia jalani? 

Sementara aku mengeluh lelah, bosan dan jenuh dengan segala pernak pernik perkuliahan, di luar sana, ada banyak sekali anak seusiaku yang mungkin menginginkan kehidupan yang tengah aku jalani; menjadi seorang mahasiswi, tanpa perlu memikirkan cara membayar uang spp karena masih ada orang tua yang menanggung semuanya. Ada banyak sekali orang yang mengimpikan kehidupan yang kamu benci. Kamu bukan kurang beruntung, kamu hanya kurang bersyukur, Deb

Dulu aku sempat berfikir, kenapa ayah harus mengatur ini dan itu. Kenapa ayah yang memilihkan 'akan jadi apa aku nanti' Kenapa ayah sejak kecil selalu memaksaku belajar ini dan itu, hal-hal yang tidak aku sukai. Kenapa ayah harus ikut campur dalam cita-citaku? 

Untuk menyelami dalamnya fikiran seorang ayah, aku masih belum mampu, namun satu yang kini mulai aku pahami. Ayah punya cita-cita, dan cita-cita ayah sebenarnya sederhana, sangat sederhana sampai-sampai aku malu ketika tahu apa yang dia mau. Seorang ayah tidak pernah meminta lebih daripada kebahagiaan anak-anaknya, dan satu-satunya bekal agar anaknya mampu bahagia adalah ilmu. Ketika ayah terlihat seperti memaksakan kehendaknya, sebenarnya ia tengah berada dalam kecemasan. Mungkin dalam benak ayah; bagaimana bila anak yang merupakan amanah Allah itu menjadi jahil/bodoh? Bagaimana dia mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah?  
Maka jika semulia itu cita-cita ayah, adakah aku ingin mewujudkannya?

Di penghujung perkuliahan ini, semoga belum terlambat. Aku ingin membuang semua benci yang ada di dalam hati, menggantinya dengan cinta. Karena belajar dari kalimat tauhid, kata Yasmin Mogahed bahwa untuk mengisi sesuatu kita harus mengosongkannya terlebih dahulu dari hal lain. seperti ketika kita meyakini keesaan Allah dengan 'meniadakan Tuhan' terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan pengakuan 'melainkan Allah' . semoga belum begitu terlambat, 'tiada perasaan apapun untuk teknik kimia, kecuali cinta' . 

Jika cita-cita ayah tidak pernah berubah. Maka aku akan mengganti semua cita-citaku selama ini. Aku hanya ingin bahagia, agar cita-cita ayah terwujud. 

Renungan #2ndDayOfRamadhan 

Komentar

Unknown mengatakan…
wow info yang inspiratif, ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website gratis yukk disini saja.. terimakasih
Anisah Nida'ul Haq mengatakan…
twiin, suka tulisannya :')
Deby Theresia mengatakan…
aaa ada buk dokter :)
makasih ya twiin, sudah mampir dan meninggalkan jejak. *senangnya*

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan