Langsung ke konten utama

Tentang 'Jodoh'


"Aku bisa membuktikan bahwa aku mencintaimu, tetapi aku tak punya bukti apa pun bahwa akulah jodohmu"

Kalimat di atas adalah satu dari banyak kutipan yang aku sukai dalam Novel berjudul 'Jodoh' karangan Fahd Pahdepei.
Nama Fahd sebenarnya tidak terlalu asing, aku sempat melihat namanya di salah satu buku yang di pajang di Bookstore. Tapi novel 'Jodoh' adalah karya beliau yang pertama kali kuadopsi. sebenarnya aku sudah mengincar 'Jodoh' sejak awal Januari lalu, namun takdir ternyata memintaku lebih tabah dalam sebuah penantian. Beberapa kali aku mencari 'Jodoh' di bookstore di Surabaya, hasilnya selalu nihil. Entah aku yang tak berjodoh dengan 'Jodoh' atau takdir masih memintal benang cerita antara aku dan 'Jodoh' di atas sana. Hingga ketika aku sudah mulai melupakan 'Jodoh' justru 'Jodoh' yang mendatangiku.

-oh my..... ini ceritanya kok jadi giniii . Stay Focus, Deb- 

Ah ya, di sini aku ingin memperkenalkan 'Jodoh' . 
Membaca novel ini membuatku sedikit lupa waktu, untuk sekedar memenggal kisah Sena dan Keara demi beranjak makan, rasanya aku lebih rela kelaparan. Oke ini berlebihan. Tapi kata Fahd, pujian itu memang harus berlebihan kan?. Membaca kisah Sena dan Keara seolah membawaku kembali ke dimensi terjauh dari diriku, masa lalu. Rasanya, aku bahkan kamu juga pernah mengalami rasa cinta ala-ala monyet. Yups, orang dulu menyebutnya cinta monyet. Mungkin kamu pernah berada di posisi Sena, yang berbunga-bunga ketika berhasil melihat pujaan hatinya, ehm maaf, ujung jilbab pujaan hatinya maksudku. Tak terbayang betapa indah hari-hari Sena ketika Keara melemparkan senyum ke arahnya, pantas ia mendadak berjoget-joget, berubah menjadi bintang film India. 

Novel ini sungguh manis, Fahd sungguh telaten meramu kisah sederhana menjadi berkesan. Tiap inchi kisah Sena dan Keara sukses membuatku tersipu bahkan tertawa geli. Seperti ketika Sena membuat skenario agar dirinya diolok-olok 'berpacaran' dengan Keara. Atau ketika Sena berlari dari tempat mencuci demi melihat Keara melintas di asrama putra, saat itu dia tidak menyadari masih ada busa sabun di kepalanya. Atau bagian ketika Sena sengaja menyanyikan lagu yang dibenci Keara, hanya demi melihat Keara mengejarnya sambil berteriak marah. Atau bagian ketika mereka saling berkirim surat secara sembunyi-sembunyi dari pembina asrama masing-masing.

Meski sederhana, novel ini sarat makna. Sejak awal memang kita akan disuguhi tentang 'lelucon' jatuh cinta yang bodoh ala Sena. Tapi lewat alur maju-mundur dan lewat penokohan yang kuat pada Sena juga Keara, Fahd mampu mengajari-tanpa menggurui- pembacanya tentang apa itu arti cinta, apa itu arti penantian, apa itu takdir dan apa itu jodoh?

Untuk hidup di masa kini, pria seperti Sena mungkin dianggap aneh. Terlalu aneh bahkan untuk mereka yang tengah dimabuk asmara. Para pecinta, pasti membenci konsep 'matahari mencintai bumi' di mana keterpisahan harus dipilih sementara raga mendamba kedekatan. Setiap pencinta tentu akan membenarkan berbagai hal demi bisa bersama pujaan hati. Namun tidak dengan Sena, dia sadar bahwa cintanya pada Keara tak terbendung, maka ia meninggalkan Keara di antara keraguan dan teka-teki selama empat tahun lamanya. Dan Sena, dengan percaya diri menyebut apa yang dilakukannya itu dengan cinta.

Lalu apa itu cinta bagi Keara? Baginya cinta sejati adalah penantian. Maka aku sedikit geli dengan kelakuan remaja masa kini, yang seringnya membuat meme 'Pergi tanpa kejelasan, terus minta ditunggu. Emang situ Rangga?' . Teman, percayalah kisah Cinta dan Rangga bukan satu-satunya kisah saling tunggu di atas muka bumi ini. Sena dan Keara contohnya, atau Azhar dan Vidia, bahkan Adam dan Hawa pun sempat melewati masa-masa sulit ketika Tuhan menguji mereka lewat keterpisahan, kemudian keduanya memilih yakin akan bertemu, dan mereka benar-benar bertemu bukan? Di Jabal Rahmah mereka merayakan cinta berbalut kerinduan dan keharuan. Jadi Rangga bukan satu-satunya pria yang layak ditunggu, dan Cinta bukan satu-satunya wanita yang boleh menunggu. Kamu pun boleh jadi Cinta/Rangga dalam kisahmu sendiri.

Percayalah, setiap kisah punya masanya untuk melewati episode -saling tunggu- . Jangan ragu menunggu apa yang kita yakini akan datang. Sekalipun orang di luar sana meneriaki kita dengan sebutan si 'buta' si 'tolol' tapi cobalah tutup telingamu. Dunia kita kata Azhar, semakin bising. Maka penting bagi kita mendengar baik-baik apa yang dikatakan nurani. Dan kamu, sekarang sedang berada di episode saling-tunggu itu? Atau sudah melewatinya?

Kemudian, lewat Sena, Fahd bercerita tentang takdir, tentu kita semua tahu bahwa ia adalah ketetapan Tuhan yang telah tertulis bahkan sejak kita belum dilahirkan. Dituliskan dalam kitab yang nyata, Maktub, kata Sena. Aku setuju dengan Sena, bahwa Tuhan adalah penulis handal yang menuliskan berbagai kemungkinan cerita yang tak terbatas, lalu ia meletakkan kita di antara semua cerita itu. Kita akan menjadi tokoh yang melompat-lompat memberi makna pada tiap kepingan puzzle cerita ke kepingan yang lain. Begitu juga dengan jodoh, seperti hal nya Sena, kita mungkin juga pernah ragu menentukan arah ketika terbentur pada perempatan jalan. Apakah harus ke kiri, ke kanan, atau lurus? Sesungguhnya jalan manapun yang kita pilih, akan membawa kita menuju kemungkinan-kemungkinan tak terduga dan berbeda tentunya. Karena setiap tikungan, perempatan, pertigaan, perlimaan jalan yang kita pilih memiliki keragaman cerita di dalamnya. Maka sekali lagi, jangan ragu dengarkan apa kata nuarni, dengan meminta petunjuk Tuhan tentunya. 

Terakhir, aku suka cara Fahd menciptakan konflik-konflik kecil yang menggiring kisah ini menuju klimaks. Kemudian aku suka anti-klimaks yang diciptakan Fahd dalam kisah Sena. Sekali lagi, aku katakan bahwa novel ini manis, too sweet to forget. Maka dari itu aku membuat tulisan ini. 

Baiklah, selamat membaca 'Jodoh' selamat tenggelam dalam dandelion kata yang akan melambungkanmu jauh ke padang cinta, selamat membaca dongeng tentang dua anak manusia dalam penantian, selamat belajar lagi tentang apa itu cinta dan jodoh. 

Setidaknya inilah pendapatku tentang 'Jodoh' kalau kamu, bagaimana?



Surabaya, Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan