Langsung ke konten utama

Short Escape -Bukit Berawan-awan-

“if plan A doesn’t work. Don’t worry, the alphabet has 25 more letters.”

Mama pasti baca postingan ini, tolong sampaikan juga ke Papa, kalau mbak mainnya ke bukit, bukan gunung. percayalah meskipun banyak awan nya, tapi itu bukit.

Ini cerita liburan singkat (yang nekat) sebelas mahasiswa teknik yang katanya penat dengan perkuliahan. Penggagas liburan ini adalah Gilang, yang sudah lama pengen banget mendaki semeru, tapi belum juga kesampaian. Nah karena dalam waktu dekat ini kalender perkuliahan padat dan tidak ada waktu libur selain sabtu-minggu, maka sang inisiator beserta tim nya merancang liburan singkat ini ke Ranukumbolo saja. Eh, anw, liburannya sih memang singkat. Tapi maaf ya ceritanya puanjang.

Ah ya, sebelumnya izinkan aku memperkenalkan ke sebelas mahasiswa nekat yang tangguh ini, ada Gilang, Eric, Donsi, Yoga (cireng), Naufal, Sai, Youlani (Jojo), Umra (Umek), Renna, Rianti dan Deby. Singkat cerita, lewat beberapa pertimbangan dan perundingan ke sebelas mahasiswa tersebut memutuskan tetap berangkat ke Ranukumbolo meskipun minggu selanjutnya tumpukan tugas antre minta diselesaikan.

Setelah woro-woro di group whats app, segala perlengkapan sudah dipersiapkan. Siaplah kami berangkat, dengan jadwal yang dijanjikan oleh tim inisiator, tim hore (para ciwi-ciwi –sok- tangguh) sudah siap sejak pukul 18.30 . tapi entah apa yang terjadi dengan para inisiator, mereka menghilang sekian jam, tim hore pun mulai bete.

Deby : “Dons, yang lain ke mana?”
Donsi : “ga tau, ga jelas.”
Pffft...
Rianti : “Deb yang lain ke mana?”
Deby : *Angkat bahu *
Diana : *manyun*
Donsi : “maaf ya Dina, sebentar lagi mereka dateng kok, tadi mereka masih nyiapin perlengkapan, cari tenda dan lain-lain.”
Deby : *ngomong dalem hati* “tadi bilangnya gatau. Rrrr”

Yaaak setelah menunggu cukup lama, akhirnya sekitar pukul 20.40 anggota geng sudah lengkap. Kami pun siap berangkat ke Bungur, siap menuju Malang.
Oh ya lupa,nama Diana belum disebutkan di atas. Jadi Diana itu adalah teman kami yang rumahnya di Malang, rencananya dia juga ingin ikut liburan, tapi tidak diperbolehkan orang tuanya. Nah kami diajak mampir ke rumahnya sebelum ke Rakum.

Alhamdulillah, sampai di terminal Bungur kami masih kebagian bis. Lupa sih naik bis apa, yang pasti itu bis ekonomi, harganya lima belas ribu saja.
Setelah sempat tidur nyenyak, sampai tidak terasa kalau sudah dua setengah jam diperjalanan, tiba-tiba bis berhenti, banyak orang yang berdiri, pas aku buka mata, Naufal kasih kode untuk membangunkan Umek yang tidur pulas di sebelahku.
Yeay, kita sampai di Malang.

Dengan setengah nyawa yang masih tertinggal di bis, aku mulai merasakan sejuknya udara Malang, beda bangettt dengan udara Surabaya -_-
Nah tapi kami belum benar-benar sampai, untuk menuju ke rumah Dina kami harus naik angkot lagi. Tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit kalau aku tidak salah.
Sesampainya di rumah Dina, kami disambut oleh mamanya Dina, mbaknya Dina, dan soto. Hmmmm.. anw, sotonya enak sekaliiii.. terimakasih mamanya Dina :D

Setelah makan dan bersih-bersih, kami siap tidur sekitar pukul 01.15. Waktu kami tidur hanya sampai pukul 04.00, karena pagi-pagi sekali kami harus ke pasar tumpang untuk mencari jeep, jeep ini merupakan kendaraan yang digunakan untuk ke Rakum .
Setelah selesai siap-siap, kami pun berpamitan dengan Dina dan keluarga, eh dibawain bekal lagi sama mamanya Dina, duh... kan jadi enak *eh :D
Aaa pokoknya makasih banyak deh Dina dan keluarga, yang sudah bersedia menampung kami selama semalam.

Dengan angkot, kami akhirnya sampai di pasar tumpang. Jangan tanya berapa jam perjalanan, karena aku tidur sepanjang jalan. Sayup-sayup sempat mendengar Gilang bicang-bincang dengan pak sopir.
Dan sekarang, dengan separuh nyawa yang masih tertinggal di rumah Dina, kami mencari tempat untuk sarapan.
Umek : “Deby, kamu makan kah?”
Deby : “ngga Mek, ga laper.”
Jojo : *udah pesen makan*
Rianti : “aku ga makan, takut kontraksi”
Renna : *ngemil*
Tim inisiator : *udah siap makan*
Deby : “Mek, ayo makan”

Selesai sarapan, Gilang, Eric dan anak cowo yang lain mulai mencari jeep, setelah nego dan dirundingkan dengan anggota geng, akhirnya kami sepakat menyewa jeep dengan harga Rp. 1.100.00 pp (Tumpang-Rakum-Tumpang).

And, here we go..... aaah semangat sekali. Bagiku sendiri hari itu adalah the day when my dreams come true. Ranukumbolo, oro-oro ombo, aku sudah membangun ekspektasi yang begitu tinggi di istana pikiranku. Masa bodoh, meskipun Naufal bilang “jangan berlebihan deh eskpektasinya, kamu sampai Rakum aja harusnya bersyukur.”

Gilang : “seneng kan? Ayo kapan lagi ke Ranu, naik jeep.”
Eric : “foto-foto dululah.”
Donsi : *sejak tadi sudah narsis duluan -_-*

Setelah semua barang diikat di atas jeep, kami pun berangkat, Jojo dan Naufal duduk di samping pak sopir yang sedang bekerja mengendarai jeep supaya baik jalannya, kami bersembilan berdiri di jeep bagian belakang. Aaah ini rasanya sudah seperti shooting film 5 cm.
Foto dulu yaaa sebelum berangkat

Layaknya jalan di kaki gunung, tentu saja penuh tanjakan dan berliku tajam, tapi seru sekaliiiii, eh seru berkali-kali deng. Aku tidak bisa menggambarkan betapa antusiasnya teman-temanku . sepanjang perjalanan ada saja yang dibicarakan dan ditertawakan, sampai di suatu gerbang, di sebuah desa yang entah apa namanya, tawa-tawa kami direnggut paksa oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Jadi begini ceritanya, tiba-tiba jeep kami diberhentikan,
“mau ke mana?” tanya seorang Bapak bertubuh pendek, kekar (kelihatannya), wajah sangar (ky mau ngajak berantem -_-)

Eric dan Gilang turun, mendekati bapaknya (bukan mau berantem ya...) menjawab pertanyaan bapak tersebut, bahwa kami akan ke Rakum untuk camping, dan dengan berteriak si bapak bilang “Semeru tutup, Ranukumbolo tutup, semua tutup, ada longsor”
Daaaan, gumpalan awan putih mendadak berubah hitam, petir menyambar-nyambar, angin kencang menumbangkan pohon-pohon, meluluhlantakan semua yang ada termasuk harapan kami, harapanku. kesebelas wajah bahagia tadi mendadak sayu, wajah-wajah cerah tadi kini mendung. *Oke ini lebaaaay -_-*

Mendengar jawaban si Bapak, Cireng dan Sai menyusul Gilang dan Eric. Entah mereka bicara apa, tidak lama kemudian Eric kembali menemui kami di jeep.
“Bapaknya bilang boleh lewat tapi harus bayar tiket 37.500 per orang.” Kata Eric
Rianti yang sudah pernah ke Rakum, protes. Dia bilang bukan di sini tempat bayar tiket. Naufal pun ikut angkat bicara, akhirnya mereka diskusi bertiga, dibumbuhi oleh Donsi, sementara aku, Renna, Jojo, Umek hanya menyimak.

Hasil dari diskusi itu adalah kami membayar uang sebesar 100.000 agar bisa lewat. Fiuuuuh
Setelah membayar, kami pun bisa meneruskan perjalanan. Masih melewati jalan berliku dan menanjak, sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan perbukitan dan pegunungan. Oh ya, kami sempat berhenti di bukit teletubbies.

 
Ini bukit teletubbies nya

setelah berhenti sekitar dua puluh menit, dan puas foto-foto, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ranupane. Nah cerita di Ranupane ini sebenarnya ingin aku skip, malas sekali mengingatnya. Intinya di sana kami bertemu bapak-bapak, entah apa profesinya (Eric pernah bilang, tapi aku lupa) dia menegaskan lagi bahwa RANUKUMBOLO DITUTUP SAMPAI AWAL JANUARI. Di sini terjadi lagi debat panjang. Beuh kurasa tak perlu ditulis lah apa kata-kata si bapak itu. Dan yang bikin jengkel, ketika bapak itu bertanya “kamu dapet info dari mana kalau pendakian semeru di buka? Kami sudah menginformasikan di website kalau jalur pendakian semeru ditutup.”

eric dan Rianti yang menjawab “dari internet, Pak. Kemarin baru ada yang update. Bapak sopir jeep juga bilang kalau Rakum dibuka.”
Beralih lah pandangan bapak itu ke bapak sopir jeep, dengan entengnya si sopir menjawab “saya ga bilang buka, saya bilang saya ga ada info.”
Duaaaar. Sekali lagi petir menyambar bumi tempat kami berpijak. Seketika Ranupane hangus, bersama harapan kami 
Padahal jelas sekali di awal, ketika nego harga jeep di pasar Tumpang si sopir meyakinkan kami bahwa Rakum dibuka, kemarin baru ada yang menyewa jeep.
Hah, kecewa to the max. Politik uang sudah tercium. Busuk!

Oh ya, bapak-bapak yang kami temui di Ranupane itu sempat memberi saran agar kami camping di B29 saja.
“Kalian nanti minta antar sampai ke jalur *apa itu aku lupa* nanti kalian jalan 6km saja. Ga kurang ga lebih, 6km pas. Kalau soal jarak saya tahu persis. Sudah bla bla bla kali saya bolak balik B29.”
Rianti meng amiini kata-kata si Bapak, bukan tentang jarak 6 km. Tapi tentang B29. Di sana bagus katanya, Mbaknya Rianti pernah ke sana. “di sana itu kaya negeri di atas awan” kata Rianti.
Mendengar kata-kata Rianti, perasaanku sedikit membaik, awan.

Tapi karena Gilang, Eric dan yang lain kelelahan, kami memutuskan istirahat sejenak di Ranupane. Disebuah balai apalah itu, kami berkumpul, makan bekal roti dari mamanya Dina tadi pagi. Sementara Donsi dan Cireng foto-foto di pintu masuk pendakian semeru, dan Naufal diculik si bapak. (eh ini serius, sampai hari ini kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Naufal selama diculik bapak itu, taunya dia balik dengan selamat).

Istirahatnya selesai.... kami pun melanjutkan perjalanan, ke B29. Tidak begitu jauh dari Ranupane. Kami memutar arah, bertolak dari Ranupane ke arah jalan pulang, dan di sebuah persimpangan kami turun. Ada jalan kecil masuk hutan, jalannya sempit, konon itulah jalan menuju B29.
Teman, jalan itu tidak hanya sempit tapi berdebu. Debunya bukan debu biasa, debu ajaib yang tebalnya sangat tebal, aku bahkan tidak yakin ada tanah keras di bawah tumpukan debu tebal itu.

Eric memimpin jalan di depan, Jojo mengikuti di belakang.
“Jo, jalannya jangan diseret, diangkat ya. Debu nih, yang lain pake maskernya” kata Naufal.
Meskpiun jalannya diangkat sekalipun berjingkat, debu tetap berterbangan di mana-mana. Dan satu lagi, jalannya cekung ke tengah, jadi ada bagian kecil menjorok ke tengah, kami tidak bisa jalan di bagian tengah itu, tapi harus jalan di bagian pinggir yang miring. Dan itu susah sekali. Baru sepuluh menit berjalan sebenarnya dadaku sudah sesak, karena menggunakan masker jadi susah bernapas, ditambah jalannya agak menanjak dan udara lumayan dingin.

Cukup lama juga kami menapaki jalanan berdebu itu, hingga tibalah kami di sebuah bukit. Huah, bebas juga dari debu. Oh ya, pemandangan dari tempat kami berdiri, indah sekali.... ada barisan perbukitan yang panjang, gumpalan awan-awan putih. Warbiyasa...
“Nah Deb, doamu terkabul, mau lihat awan kan?” Kata Eric.
Dalam hati aku jadi teringat kata-kata Mbak Afatsa ‘be careful with what you wish for’
Iya, aku mau lihat awan, tapi lebih mau ke Ranukum.... ah sudahlah

Di balik bukit itu, ada gunung Bromo
Cantik banget, mirip lukisan
Nah ini, Team lost :D

Selesai foto-foto, formasi awal bubar. Sekarang Donsi yang berjalan paling depan. Di belakangnya ada aku, Jojo, Rianti dan Naufal. Di belakang, entah bagaimana urutannya, pokoknya yang jagain Umek ada Eric, Gilang, sama Yoga. Yang jagain Renna ada Sai :D

Tadinya aku kira akan terbebas dari debu setelah mencapai bukit itu, tapi ternyata salah. Petualangan melawan debu ternyata baru dimulai....

Antara Donsi si leader dan tim A (rombongan Naufal nih) susul-susulan terus. Sampai akhirnya di tanjakan ke sekian kita bersebelas sempat berkumpul lagi.
“Lu percaya ga kita udah jalan lebih dari 6 km?” Tanya Naufal kepada Cireng
Cireng menghela napas, “Ah ini mah 6 km kuadrat . jauh banget.”
Yang lain ikut setuju, manggut-manggut mengiyakan, bahwa kami sudah berjalan lebih dari 6 km. Menyebalkan memang, berjalan di jalanan sempit, berdebu, naik turun bukit, parahnya lagi, jalan yang kami lewati itu rack motor trail, jadi setiap ada motor yang lewat, kami harus menepi, kadang harus merapatkan badan di dinding-dinding tebing, atau memaksakan diri masuk ke semak-semak.

Beberapa waktu beriringan, kami bersebelas terpisah lagi, Donsi yang entah kenapa hari itu sedang apatis, kembali mengambil langkah cepat berjalan sendirian. Naufal masih mengiringi langkah Deby, Jojo dan Rianti. Umek dan yang lain kembali tertinggal di belakang.

Dan di bukit ke sekian, tim A kembali bertemu dengan Donsi. Dari bukit itu, mulai terlihat pemandangan gunung Bromo, cukup lama kami beristirahat di sana.
“Ini masih jauh ga sih? Capeeek” Oke, aku mulai menyerah. Padahal hampir separuh perjalanan aku hanya membawa tas kecil dan jerigen air dua liter, sedangkan tas besarku dibawakan oleh Naufal (Hehe kasihan sih, tapi dia yang maksa. makasih ya Fal :p)
“ngga, kita udah ga jauh lagi. Tujuan kita ada di ujung bukit sana.” Kata Naufal menunjuk ke arah timur.

Kebetulan ada bapak-bapak yang sedang berhenti juga di bukit itu. Dia membenarkan kata-kata Naufal. Katanya, kami sudah tidak jauh lagi dari B29. Jika ditempuh dengan motor sekitar lima menit saja sudah sampai.
Oke, tapi aku tidak mau senang dulu. Ujung bukit itu masih jauh di pandang mata, lima menit dengan motor? Kecepatan berapa km/jam? Dan Kami jalan kaki, helloooow. Mungkin dua atau tiga jam lagi, perkiraanku.
Tapi ternyata aku salah, kira-kira tiga puluh menit lebih lah kami berjalan dari bukit tadi, kami telah sampai di B29. Aaaaah Finally, setelah empat jam berjuang.

Abaikan muka hitam kami yang lelah. Fiuuuh

Ini sisi lain B29, aaah ku jatuh cinta pada awan-awan itu :3

Nah, uniknya di bukit ini (bukit ya, kan B29 itu artinya bukit 2900 mdpl.) ada beberapa warung yang jualan indomie dan minuman hangat, tapi sayngnya tidak ada toilet. Huhu.
Warung-warung ini terletak di bawah, sedangkan lokasi campingnya ada di atas bukit lagi. Iya, masih harus naik sekitar beberapa puluh meter lah, lumayan tanjakan menuju lokasi camping ini menurutku tanjakan tercuram.

Ini pemandangan dari tanjakan. Sempet-sempetnya berhenti di tanjakan karena view nya keren ngetzzz.

Dan, dengan sisa tenaga yang tersisa, sampailah kami di atas bukit yang tingginya hampir sama dengan tinggi gunung. kami berlima langsung bongkar muatan tas, dan mendirikan tenda. Berlima ya, karena yang enam lainnya masih di bawah bukit.



On progress :D

Ketiga tendanya sudah jadi

Setelah tenda selesai didirikan, mereka pun shalat. Ah ya, bermain di alam terbuka membuat kami sadar, betapa kecilnya diri ini di belantara semesta.


Mentari beranjak turun ke peraduannya, senja telah menjemput sang surya. Udara makin dingin, angin bertiup makin kencang. Pertahanan mulai diperkuat, tim hore mulai melapisi badan dengan jaket-jaket tebal yang kami bawa, tapi para lelaki malah ada yang hanya mengenakan lengan pendek.

Sambil menikmati langit jingga yang berangsur hitam, kami menyeduh air hangat, menikmati minuman hangat di tengah udara yang dingin. Warbiyasa. Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan?

Langit makin pekat, kami masih duduk melingkar di depan tenda. Ada Gilang yang pantang menyerah menyalakan api unggun tapi gagal. Yang lain sudah asyik dengan pop mie nya masing-masing. Aku mulai merasakan dingin yang tak biasa. Aku masuk sebentar ke tenda, menempelkan koyo di beberapa bagian tubuhku, mengusap minyak ikan milik Renna di telapak kaki dan tangan. Aku kira dengan itu aku akan hangat. Tapi tahu apa yang terjadi? Aku malah mengalami kedinginan hebat yang luar biasa. Rrrrr.

Karena angin yang begitu kencang, satu persatu dari kami mulai masuk ke tenda. Memilih berlindung di balik sleeping bag. Oh ya, karena aku sangat-sangat kedinginan, dan dua jaket tebal yang kubawa tidak mampu menahan angin liar yang menerobos sampai ke pori-poriku, akhirnya Gilang lah yang jadi korban. Jaket tebalnya kupakai, sedang dia hanya menggunakan jaket parasut. Paginya, Gilang demam. *maaf Gilang*

Sebenarnya tidur kami malam itu sangat tidak nyenyak. Aku sendiri bangun hampir tiap dua jam sekali. Untuk pertama kalinya aku merindukan udara panas di Surabaya, setiap terjaga, aku hanya berharap segara pagi, segera bertemu matahari. Sesekali kulihat Umek juga terbangun, aku sempat melihatnya duduk dan memeluk lutut. Umek pasti kedinginan 
Renna juga, ia sempat menggigil, dan kuberi dia inhaler. Jojo juga sama, tengah malam dia terbangun dan minta minyak kayu putih.
Hanya Rianti mungkin yang tidurnya paling nyenyak. iya, dia sendiri mengakui bahwa tidurnya nyenyak -_-

Tepat pukul 04.00, aku mendengar suara-suara dari tenda sebelah, Eric dkk sudah bangun, tapi kami belum ada yang berani keluar tenda. Setelah shalat subuh, dan jam sudah menunjukkan pukul 05.00, barulah kami keluar tenda. Aku sempat kaget, ketika keluar ternyata sudah ramai sekali. Rasanya semalam tidak seramai ini, bahkan hey, ada anak kecil di sana.
Haha aku lupa, untuk sampai ke puncak B29 ini bisa menggunakan motor atau ojek. Jadi wajar saja ada anak kecil di sana.



Halo, selamat pagi dari B29
Kamu, dapet salam dari awan nih 

Wajah-wajah bahagia yang kedinginan, anw yang berasap di belakang itu gunung Bromo

Setelah pose sana sini, kami pun sarapan, dengan menu yang sama pada saat makan malam, apalagi kalau bukan indomie. Ternyata selain sahabat anak kost, indomie juga sahabat anak gunung ya?
Sekitar pukul 07.00 kami berkemas, harus segera turun, agar tidak kemalaman sampai di Surabaya, besok kuliah tjuy -,-

Sebelum pulang, kita bekukan kenangan dulu di puncak B29

Nah kelihatan kan, para lelaki style nya anak gunung abizzz, bawa carrier segitu besarnya, yang ciwi-ciwi style anak kuliahan, bawa ransel yang biasa dipake kuliah. Dan dengan ransel itu, yang separuh perjalanan digendong Upal, aku masih ngeluh. Yang begini mau jadi anak gunung? Hih

Tepat pukul 08.00 kami meninggalkan B29, bersama jejak yang tak bisa dibawa pulang, terutama jejaknya Eric.
Perjalanan pulang sama beratnya dengan perjalanan pergi, kami melewati jalur yang sama, masih bergumul dengan debu, berpapasan dengan pengendara motor trail, dan masih sempat mengabadikan beberapa foto di jalan.

Itu, yang puncaknya terututup awan adalah si Semeru, puncak tertinggi Jawa.

Oh ya, aku tidak sempat melihat jam, jadi tidak tahu berapa jam perjalanan kami kembali ke kaki bukit. Sesampainya di kaki bukit kami sudah ditunggu jeep, dan ketika jeep berjalan, aku pun tidur sampai di pasar Tumpang.
Di pasar Tumpang kami istirahat, membersihkan diri dan shalat di sebuah masjid, yang tidak sempat aku kenali namanya. Kemudian makan di sebuah warung penyetan yang namanya ‘Diah’. Setelah makan, perjalanan kembali berlanjut ke terminal Arjosari dengan angkot lagi. Di Arjosari kami sempat menunggu Dina, kemudian naik bis ke Surabaya. Kami masih menggunakan bis ekonomi. Tapi anehnya bis kali ini berbeda dengan bis ketika yang kami tumpangi dua hari lalu. Penumpangnya kali ini luar biasa padat, dan kernetnya mengizinkan penumpang berjejalan di dalam bis. Demi apa, pengap dan panas, sempit. Oh my........
Bahkan Sai berkali-kali menyebut ‘aril’ saking kesalnya, tidurnya terganggu dengan padatnya bis yang tak wajar itu.

Setelah berdesak-desakan cukup lama, kami pun sampai di Bungur sekitar pukul 08.00 malam (atau lebih sedikit). Perjalanan masih belum usai, kami harus naik motor untuk sampai ke kosan. Jarak Bungur-Keputih kira-kira bisa ditempuh selama 30 menit dengan kecepatan normal.
Dan sekitar pukul 09.00 kami sampai di kosan masing-masing dengan selamat dan kelelahan. Harus segera istirahat karena keesokan harinya presentasi ATK sudah menunggu~

Well, itulah cerita liburan pelarian singkat kami, sebelas mahasiswa teknik yang jenuh dengan kuliah-diktat-tugas-jurnal-panasnya Surabaya. Alhamdulillah, Allah berikan kami tubuh yang sehat dan kaki yang kuat *halah* sehingga kami bisa jalan-jalan sampai nyasar ke Lumajang sana -_-

Meskipun singkat, ada begitu banyak pelajaran di tiap detik yang lewat. Lewat dua hari kemarin kami belajar ikhlas, ketika rencana yang kami buat ternyata tak direstui Tuhan, meskipun sedih  (Rakum semoga kita berjodoh suatu hari nanti). Lewat dua hari kemarin juga kami belajar bagaimana meredam ego pribadi demi sebuah tim (sok-sok an banget ini). Lewat dua hari kemarin kami juga belajar mensyukuri keadaan yang ada, seperti mensyukuri panasnya Surabaya, (coba kalau seandainya Surabaya sama dinginnya dengan puncak B29, mungkin aku tidak kuat kuliah di Surabaya kan )
Lewat dua hari kemarin juga kami sadar, bahwa kami begitu kecil, hanya noktah di belantara semesta, tidak ada apa-apa nya. Lewat dua hari kemarin, kami jadi termotivasi untuk merencanakan liburan selanjutnya. Lewat dua hari kemarin juga kami belajar bertahan hidup hanya dengan indomie dan pop mie, dan lewat dua hari kemarin kami jadi tahu, bahwa kami baik-baik saja setelah makan mie dua hari berturut-tutut.

Gengs, masih banyak tempat indah di belahan bumi ini yang harus kita kunjungi. Terutama di Indonesia. Semoga Allah masih terus memberi karunia kesehatan kepada kita semua, hingga  nanti, kita bisa liburan sama-sama lagi ya.

With love
Theresia De








Komentar

Unknown mengatakan…
Aril ini yang buat ahahahaa

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan