Langsung ke konten utama

Serpihan Surga Di Selatan Sumatera

 I’m not a traveller kind of girl, tapi sekali-sekali bolehlah ya posting tentang liburan.
Well, sebelum cerita tentang ‘surga’ itu, ada sedikit mukadimah.....
Jadi ini cerita tentang liburan singkat keluargaku. Sebenaranya hampir tiap tahun kami meng-agenda-kan liburan. Entah itu jelajah alam atau sekedar jalan-jalan ke kota. Dan biasanya aku lah yang dipercaya dalam menentukan destinasi. Sebelumnya kami sekeluarga hanya ngubek-ngubek wilayah Sumsel saja, belum pernah mencoba ke luar ‘kandang’. Destinasi liburan pun tak jauh dari air terjun, wisata kota dan pegunungan, itupun hanya sampai di kaki gunung, haha (karena hanya itu yang Sumsel punya). Karena bosan dengan air terjun dan wisata kota (di kota pun tak ada tempat menarik, tujuan utama ya paling juga ke mall. Ada wisata pulau kemaro juga di Palembang. Tapi tiga tahun lalu kami sudah ke sana. Huhu) aku iseng mengajukan destinasi baru, ada dua opsi. Pertama Lampung, kedua Bengkulu. Sebenarnya Bangka sih yang pertama, karena pantai di sana kereeen. Tapi belum juga mempresentasikan keindahan Bangka, Ibuku mentah-mentah menolak. “Bangka itu harus nyebrang pulau, bla bla bla bla.” Oke fix, aku mengalah (dulu, sementara. Haha)
    
Dibanding Bengkulu, aku lebih condong ke Lampung. Karena menurut kabar-kabar yang kudengar jalan menuju Bengkulu lebih berliku dari jalan ke Pagar Alam. Awalnya aku tak percaya dengan yang ‘katanya-kayanya’. Sehingga untuk memastikan kebenarannya, kutanyakan langsung ke orang Bengkulu. Fiuh ternyata benar, teman. Aku tidak mau ambil resiko, adikku yang nomor dua tidak bisa dengan jalan seperti itu, dia orangnya mudah mabuk mobil (sebenarnya mbaknya juga sih).
    
Di Lampung sendiri, ada banyak pantai yang bisa dikunjungi. Tapi sudah lama sekali aku mengincar pantai kiluan. Yang terkenal dengan lumba-lumbanya. Sebenarnya Teluk kiluan ini belum banyak terekspos sih, sebab baru dua tahun belakangan namanya mulai terdengar (menurut banyak sumber di Google. Hehe)
    
Pertama, aku melakukan pendekatan ke ayahku. Tanpa banyak ba bi bu, ia pun setuju. Selanjutnya, aku dan ayahku mempresentasikan teluk kiluan ke Ibuku. Ia pun tak banyak komentar, percaya saja jika aku dan ayahku sudah berkonspirasi. Selanjutnya, tiga krucil akan manut saja. Selesai!
    
Tapi, bukan hal mudah untuk bisa liburan. Ayahku, dia orang yang tidak pernah menjanjikan waktu pasti kapan kami bisa berlibur. Jika dia bisa cuti, kami berangkat hari itu juga (seringnya begitu. Dadakan). Lagi-lagi kejadian itu terulang, saat aku dan Ibuku sudah pasrah bahwa tahun ini kami tidak bisa liburan, tiba-tiba Ayahku keluar kamar, “siap-siap lah, besok kita berangkat. Lampung kan?”
    
Demi mendengar kabar baik itu, aku melompat, meraih ponsel ayahku. Mulai searching akses untuk menuju ke teluk kiluan. Ada banyak sekali EO yang menawarkan pilihan paket wisata. Pilihanku jatuh di Eko Wisata, entah kenapa (?) . karena blog Eko yang pertama kali terbaca olehku, dan pas juga ia menyediakan paket wisata untuk tujuh orang. Meski di sana tertulis Dp minimal dua puluh persen dan pemesanan minimal satu minggu sebelum keberangkatan, aku tetap mencoba menghubungi. Alhamdulillah, bisa. Yeay, berangkat kita berangkat!
    
Fyi, ada banyak sekali EO yang menyediakan paket wisata. Dengan kisaran harga untuk wilayah Sumatera Rp. 500.000- Rp. 600.000 per orang, dan wilayah Jawa Rp.700.000- Rp. 800.000 per orang. Biaya tersebut meliputi biaya travel penjemputan peserta tour (untuk wilayah Sumatera, titik penjemputan di Bandar Lampung. Sedangkan wilayah Jawa, di pelabuhan Merak), biaya makan tiga kali, penginapan satu kamar untuk satu malam, biaya jukung untuk berburu lumba-lumba, biaya snorkeling, juga termasuk tip untuk tour guide.
    
Oh ya, jadwal dan harga dapat berubah sesuai kesepakatan, lho. Contohnya saja kami, memesan paket satu malam dua hari untuk tujuh orang yaitu sebesar Rp. 3.228.000 . Karena dari Pendopo kami membawa mobil pribadi (tidak menggunakan pesawat, karena lebih irit ongkos dengan mobil pribadi), pihak EO menawarkan kami untuk tidak menggunakan mobil mereka, sehingga biaya dikurangi sebesar satu juta. Awalnya ayahku ingin menitipkan mobilnya di Bandar Lampung, tapi setelah banyak pertimbangan dan diskusi dengan kami, akhirnya Inova harus rela ikut kami ke teluk kiluan.
   
Fyi lagi nih, perjalanan Pendopo-Lampung bisa tembus dalam sembilan jam. Tapi kami menghabiskan dua belas jam, iya DUA BELAS JAM untuk bisa sampai di Bandar Lampung, sudah sama dengan durasi perjalanan menggunakan kereta. Ini karena kami banyak berhenti di jalan, entah untuk makan, shalat, buang air, isi bensin, atau sekedar jajan-jajan di pinggir jalan. Terlebih lagi Ayahku tidak bisa memacu kijangnya dengan kecepatan tinggi, ngebut sedikit saja aku dan adik-adik langsung teriak “Pa, pelan-pelaaaaan.” (anw, aku takut kebut-kebutan dengan mobil. Huhu)
    
Kami tiba di Bandar Lampung pukul 20.00 WIB. Tour guide yang menjemput kami sudah menunggu di depan masjid Agung Bandar Lampung. Tentu saja dengan bantuan google maps, kami bisa menemukan lokasi tersebut (terimakasih google maps ).

Pose dulu lah, udah di Lampung kita~
    
Fiuh.. sudah lelah duduk di mobil selama dua belas jam, sampai juga di Bandar Lampung. But it’s not our last destination, belum teman-teman. Butuh tiga jam lagi untuk sampai di teluk kiluan. Setelah istirahat makan dan isi bensin, kami melanjutkan perjalanan. Berkali-kali aku mengingatkan Ibu dan adik-adikku untuk sabar, karena nanti kami akan melewati jalan berbatu-jelek-berlubang. (ini masih berdasarkan informasi di Google, hehe)
“Jalan jeleknya cuma sepuluh kilo kok Ma.” Kataku (sok tahu) meyakinkan.
    
Tapi aku salah, satu setengah jam kami melewati jalan yang yaaa lumayan berbelok-belok. Setengah jam selanjutnya, kami dipermainkan alam, sungguh.. dengan jalan yang make us feel ‘oh so tireeeeed’. Dengan liku-liku jalan, naik-turun bukit, batu besar berserakan di tengah jalan, lubang-lubang besar yang lebih pantas disebut ‘danau di tengah jalan’. Apa lagi? Jalanan gelap, tanpa lampu jalan. Aku sebenarnya ingin mengeluh, tapi tidak boleh. Sebab adik dan Ibuku, juga sepupuku sudah mengeluh lebih dulu.
    “Aduh, ya Allah. Kapan sampenya?” Kata Ibuku dengan mata terpejam dan tubuh yang terguncang.
    “Aduh, ma. Capek” kata kedua adik kembarku dari bangku belakang.
    “Remuk sudah badanku.” Kata sepupuku sambil meliuk-liukkan tubuhnya.
    “Bot, kapan sampenya? Jauhnya Bot. Capek mama.”
    “Mbak katanya cuma sepuluh kilometer jalan rusaknya, kok ini ndak habis-habis.” Kata Ayahku yang sudah kelelahan memacu kijangnya.
    
Aku bingung harus bilang apa, ku juga lelah. Huhu. Terus diserang dengan keluhan serupa, aku asal comot kalimat. “Sabarlah, untuk menuju surga pun jalannya tak mudah. Penuh cobaan dan berliku.”
    
Eh aku malah disemprot. “Diamlah sudah, jangan tausiyah sekarang.” Kata Anggun, sepupuku. Kubisa apa? Hanya bisa mentertawakan mereka yang sudah tak berdaya.
    
“Liburan selanjutnya jangan suruh Mbak yang cari tempatlah, Pa.” Kata Dimas, adikku yang nomor dua. Aku hanya bisa tertawa dan tertawa. Lelah sih, tapi aku masih menyimpan keyakinan, ada sesuatu yang indah setelah banyak kelelahan yang kami lewati hari ini. halaaah~
    
Oh ya, fyi lagi nih. Buat kalian yang merencanakan liburan ke kiluan dengan mobil pribadi jangan coba-coba bawa sedan ya, jangan! Minimal Avanza lah.
    
Setelah tiga jam berjuang mendaki bukit menuruni lembah, ppfftt~ kami sampai di teluk kiluan pukul 23.00. Disambut dengan angin laut yang sepoi-sepoi dan deburan ombak, aih sedaaap. Setelah memarkir mobil di pinggir pantai, kami bergegas menuju penginapan yang telah disediakan. Cottage mereka menyebutnya, jauh di luar ekspektasiku. Cottage itu berdindingkan papan, berlantai semen kasar, kasurnya hanya kasur busa dengan dua bantal dan guling tanpa selimut, kamar mandinya tanpa bak. Ya, tidak masalah sih yang penting kan bisa rebahan ya setelah dua belas jam di mobil, ditambah tiga jam dihempas batu jalanan~
    
Usai membersihkan badan, berganti pakaian, dan shalat, kami pun makan malam lagi. Dengan lauk sayur, tempe, sambal tak ketinggalan ikan laut, menu wajib itu mah. Oh, ya.. karena kami bertujuh, dan kamar yang disediakan hanya berukuran 3x4 meter, akhirnya kami memutuskan menambah sewa kamar, dengan biaya yang lumayan lah, tiga ratus ribu untuk satu kamar.
    
Setelah makan, kami cepat-cepat menuju kamar. mata dan tubuh sudah menuntut haknya untuk istirahat. Dari kamar sebelah kudengar Ayahku berbincang dengan adik-adikku. “Jadi malam ini kita terdampar di pulau impian Mbak.” Kata Ayahku.
Aku dan Ibuku tertawa mendengarnya, Anggun? Jangan ditanya lagi, ia sudah pingsan karena efek antimo.

***
    
Nah itu tadi mukadimahnya, ini baru inti cerita. Haha panjang ya pembukaannya. Maaf teman-teman.
    
Jadi, setelah shalat subuh, aku menyusul Ayah dan adik kembarku juga Ibuku yang sudah duduk-duduk di pinggir pantai. Dimas dan Anggun masih lelap dipeluk mimpi~
    
Ini sumpah ya, pagi yang benar-benar berbeda. Biasanya usai shalat subuh aku baring-baringan di tempat tidur sambil memegang gadget. Pagi ini tidak, menikmati deburan ombak dan perbukitan hijau yang mengurung kami di teluk ini. Indah nian ya Allah.

Was taken by Anggun, bangun tidur langsung foto-fotoin kita dianya :D
    
Sudah setengah jam lebih duduk-duduk di tepian teluk, kami dipanggil untuk sarapan. Usai sarapan, kami berdiskusi dengan pihak EO, kami memutuskan untuk berburu lumba-lumba, ya seperti yang sudah kubilang di awal, jadwal dapat berubah sesuai kesepakatan.
    
Berburu lumba-lumba, kami menggunakan jukung, bagaimana ya menjelaskannya, sejenis perahu kecil yang hanya bisa dinaiki empat sampai lima orang, digerakkan dengan motor. Kami tentunya diharuskan menggunakan pelampung. Anw, kami pisah jukung. Ayah, Ibu dan adik kembarku ada di jukung yang sedikit besar, sementara aku, Anggun dan Dimas berada di jukung yang sedikit lebih kecil. Di tiap jukung ada tour guidenya, sekaligus yang menyetir jukung, juga bisa beralih fungsi sebagai fotografer, hehe.
    “Yeay kita akan ke Samudera Hindia.” Kata Anggun.
    “Tahu dari mana?”
    “Kata masnya.”
    
Aaaaak tidak, aku takut. Sungguh. Yang pertama karena aku benar-benar tidak bisa berenang, sama sekali tidak bisa, kedua karena aku takut dengan air yang menggenang, jangankan laut, air di kolam renang atau bak mandi yang besar saja kutakut melihatnya, huhu. Aku dalam masalah sekarang. Tapi demi melihat lumba-lumba, kusimpan sebentar rasa takutku. Kami pun berlayar menuju Samudera Hindia~

Itu Ayah, Ibu dan adik kembarku sudah di atas jukung. 
    
Setengah jam kira-kira jukung melaju, kami kini benar-benar berada di tengah laut lepas. Sejauh mata memandang hanya air yang nampak, air dan langit seolah menyatu tanpa batas. Well, aku hampir menangis, takuuuut. Tapi pura-pura bahagialah, walau jukung terombang-ambing dihempas ombak. Satu dua lumba-lumba mulai menampakkan diri, melompat-lompat beriringan, lucuuu sekali. Akupun mulai lupa dengan rasa takutku, bahkan aku berani berdiri di atas jukung untuk berpose. Tapi menyebalkan, kami gagal mengambil foto selfie bersama lumba-lumba. Berkali-kali mencoba tetap tidak bisa. Dah kami mah apa atuh, biasa juga selfie, ini mencoba mengambil gambar lumba-lumba, susahnya bukan main. Jadilah ada banyak foto laut kosong di galeri foto haha. Oh ya, ada juga beberapa vidio yang sempat mengabadikan aski lucu lumba-lumbanya.


    Yang fotoin kami itu mas-mas tour guide

Setelah kurang lebih satu jam kami terombang-ambing di laut lepas, lumba-lumba mulai sepi di permukaan. Ombak pun semakin besar, menghempas jukung tanpa ampun. Kami harus segera kembali ke cottage. Selesai bermain dengan lumba-lumba, rasa takutku muncul lagi. Ini pemandangan indah sekali, tapi aku takut.
    
Pukul 08.30 kami sudah menepi lagi, Alhamdulillah selamat sampai ke tepi.
Alhamdulillah ketemu daratan lagi :')

Untuk selanjutnya tujuan kami adalah laguna. Ialah kolam renang alami yang... (baca KBBI ya, panjang penjelasannya haha) dan letak laguna itu ada di balik bukit di seberang cottage kami. Dan lagi-lagi kami pun harus menyebrang menggunakan jukung. Tidak sampai sepuluh menit sudah sampai.
    
Oh ya, jangan lupa bawa sendal gunung ya. karena untuk sampai ke laguna jalannya tidak mudah, tracknya luar biasa membinasakan haha. Jadi ceritanya aku ini orang yang selalu saltum alias salah kostum. Ingat dulu pertama mendaki gunung Ijen aku menggunakan sneakers. Dan sekarang jalan ke pantai memakai sepatu cewe-cewe itu (apa ya namanya, tidak tinggi, bukan wedges) ya jelas tidak bisa lah di bawa untuk mendaki bukit. Akhirnya aku mempengaruhi keluargaku untuk tidak memakai sendal dan sepatu mereka. Mereka pun manut saja kata mbaknya ini. ketika mendaki dan menuruni bukit bebatuannya tidak seberapa menyakiti kaki, hanya saja terjalnya itu ya Allah. Habis sudah nafasku di tengah perjalanan. Setelah berlelah mendaki dan menuruni bukit, mulai terdengar deburan ombak. Kukira kami telah sampai, aku pun berlarian di pantai, berpose sana sini. Ternyata belum, belum.. masih jauh, ada banyak bebatuan lagi yang harus dilewati untuk sampai ke laguna. Demi apapun, di sini baru terasa sakit. Batu karang besar-kecil, merambat di dinding-dinding bukit yang penuh batu. Ya Allah, kurang tangguh apa aku jadi perempuan? Hahaha

    
Setelah entah berapa menit sudah terlewati sampai juga di laguna. Jujur ya, pemandangan sepanjang jalan menuju laguna saja luar biasa indahnya, walaupun menyakitkan. Apalagi setelah sampai di laguna. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban.
    
Sesampainya di sini, kusenang sekali. Kolam renang alami ini hanya sebatas pinggangku. Karena air laut asin ditambah lagi aku menggunakan pelampung, aku jadi bisa mengambang, pura-pura bisa berenang. Haha ternyata bisa berenang itu enak sekali ya. tapi jujur lagi nih, setelah lelah main air, biasanya aku panik. Dan itu terulang lagi di laguna. Aku kehabisan nafas, seolah-olah mau tenggelam. Aku pun berteriak meminta tolong. Bukannya ditolong, aku malah ditertawakan. Jelas saja, kolam itu hanya sepinggang, aku mampu berdiri sebenarnya. Beruntung ada anak kecil yang mendekat dan menarikku ke pinggiran laguna, malu euy.
    
Di laguna ini juga ada pemandangan yang indah saat ombak menghantam karang, apa ya sebutannya? Percikan air itu yang membuat pemandangan menakjubkan.

ini di balik batu besar, jadi agak gelap. candid asli :D 

 nah kita merayap menuruni dinding batu itu :"

Mereka jauh di depan, Deby dan Anggun foto-foto di belakang

Salah satu jembatan di dinding bukit


Ini dia lagunanya.. Indah ya :')


Ini yang kumaksud, ombak menabrak bebatuan. menciptakan cipratan air, halah bahasanya~

Menjelang waktu dzuhur, kami menyudahi bermain-main di laguna. Bergegas kembali menuju cottage. Di cottage kami telah ditunggu oleh menu makan siang, tak jauh beda dengan semalam, tetap ada menu wajibnya, ikan laut. Selagi makan, kami berdiskusi. Berencana mengubah jadwal, harusnya snorkeling itu sore hari sekalian melihat sunset. Tapi karena Ibu dan sepupuku sudah tidak betah lagi menginap di cottage itu, mereka menyarankan snorkelingnya siang saja. Sehingga sorenya kami bisa keluar dari kiluan dan menginap di Bandar Lampung saja. Akhirnya aku dan sepupuku yang bicara dengan EO-nya, bahwa kami ingin snorkeling siang itu juga. mereka mengingatkan bahwa siang itu panas sekali, tapi kami tak mengurungkan niat. Berangkatlah kami ke pulau kelapa, lokasi snorkelingnya ada di pulau itu. Yups, lagi-lagi menggunakan jukung. Lima belas menit saja waktu yang dibutuhkan untuk sampai di pulau kelapa.
    
Pulau kelapa itu indah sekali teman-teman, masya Allah... lautnya ada tiga lapisan warna, biru tua, hijau toska dan putih karena warna pasir. Kami main-main sebentar di pantainya. Pasirnya putih, lembut dan bersih. Aaah inilah serpihan surga di bumi Tuhan. Tidak peduli matahari menyengat kulit, kami berlari-lari tanpa beban, saling kejar, saling menimbun diri di pasir. Setelah puas bermain di pantai, tour guide kami mengajak ke lokasi snorkeling.
    
Fyi lagi nih, EO di sana tidak menyediakan fin. Jadi kita bisa menyewa fin di pulau kelapa. Selama ini nyaliku hanya sebatas pantai, bermain dengan ombak. Sekarang harus menyelam, jujur saja aku juga takut melihat terumbu karang. Mereka seperti hidup, ya memang hidup ya? nah itu, aku takut. Huhu.
Sementara keluargaku kegirangan belajar bernafas dalam air, aku memilih duduk di pinggir pantai. Satu dua dari mereka sudah mencoba, Ayahku dan Anggun tertawa girang melihat keindahan bawah laut. Mereka melambai-lambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk mendekat. Ragu-ragu aku berjalan ke arah mereka, kini air laut telah merendam tubuhku sebatas pinggang. Kembali lagi, aku mulai panik. Ombak seolah menyeretku semakin ke tengah, aku pun berteriak (lagi). Lagi-lagi pula mereka menolongku sambil mentertawakan.
    
Aku pun memutuskan untuk enggan mencoba. Takut sekali. Aku masih berdiri di tempat, mencengkram lengan Ayahku. Ayahku tak habis cara membujukku untuk mencoba menyelam, dengan iming-iming banyak ikan lucu di bawah sana. Akhirnya aku pun mau. Dengan syarat Ayahku memegang tanganku, setidaknya aku merasa aman di tangannya. Percobaan pertama, air asin itu cukup banyak tersedot olehku. Aku lupa untuk bernafas lewat mulut. Bodohnya~
    
Dua kali mencoba, aku mampu bertahan beberapa detik. Ketiga kalinya aku ketagihan. Masya Allah, indah sekaliiiii terumbu karangnya. Sayang sekali kami tidak punya kamera GoPro, sehingga tidak bisa mengabadikan keindahan bawah laut. Setelah melihatku berani, Ayahku mengajakku lebih ke tengah lagi, aku enggan. Cukup di tempat itu saja aku bisa melihat satu dua ikan lewat. Ibuku, adik-adikku, sepupuku, Ayahku, mereka membujukku lebih jauh ke tengah, kata mereka di sana lebih banyak ikan lucu, warna-warni. Tapi rasa takutku lebih besar dari rasa penasaranku. Mereka semakin jauh dari tempatku berdiri. Ombak makin liar menarik tubuhku, aku makin panik. Susah payah aku menarik tubuhku keluar dari air, ke tempat yang lebih aman, di pinggir pantai, kusendirian bermain pasir~
   

Ini bocah lagi main kubur-kuburan di pasir


Wajah-wajah bahagia ketemu pantai

Mereka snorkeling, Debynya foto-foto

Sebelum pulang, foto bersama dulu :D

Keindahan pantai di pulau kelapa menggoda kami untuk lebih lama lagi di sana. Ibuku bahkan berpikir ulang, ia ingin melihat sunset. Aku dan adik-adikku setuju saja untuk bermalam lagi di cottage. Tapi Ayah dan Anggun tidak mau. Kami pun pulang ke cottage sebelum ashar. Membersihkan diri dan shalat kemudian bersiap meninggalkan kiluan.
    
Kami meninggalkan kiluan pukul 16.30 dan sampai di Bandar Lampung pukul 20.00, langsung menuju penginapan. Istirahat sejenak untuk kemudian esoknya setelah subuh kembali ke Pendopo.
    
Itulah cerita perjalanan singkat kami, yang dipersiapkan dalam waktu yang singkat pula, namun meninggalkan kisah indah untuk selalu diingat, eaaaak~
Meskipun pada awalnya keluargaku mengeluh, tapi aku bahagia sekali mereka menikmati liburan ini. Maafkan Mbak ya Ma, Pa, Dik, Yuk. Liburan selanjutnya janji deh, kalian yang pilih tempat, Mbak manut saja nanti hehe.
    
Aku bangga sekali jadi anak Indonesia, ada lagunya kan, ‘orang bilang tanah kita tanah surga’. Dan meskipun sudah kukatakan aku bukan gadis petualang, tapi ini tak akan jadi perjalanan terakhirku menjelajah bumi Indonesia. So would you be my travel mate for the next trip?

Note : percakapan kami di atas dalam bahasa Palembang yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Komentar

Laras mengatakan…
Panjang bangett, Deb. Tapi seru banget liburannya. Lain kali kalo aku main ke palembang, ajak jalan-jalan, yosh.
Deby Theresia mengatakan…
Yuhuuu, siap kaka senior :3
Mbul Kecil mengatakan…
Klo liat air begini rasanya jadi pengen nyebur
Sheren Prillysia mengatakan…
aiiihhhh lemam nian oii..hihihi
Sheren Prillysia mengatakan…
aiiihhhh lemam nian oii..hihihi

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan