Malam kian pekat ketika hujan membungkus sunyi. Derap langkah hujan di atas bumi menghapus segala sekat yang pisahkan kita, termasuk jarak.
Kita telah sepakat bahwa hidup adalah pergiliran rasa. Kita tak pernah tau kapan akan jatuh, bersimpuh, terjerembab, kemudian bangkit. Kita tak bisa pastikan hari ini ada suka, luka, atau bahkan duka.
Tidak. Sesekalipun kita tak bisa menebak, karena perputaran waktu tak pernah menjanjikan itu. Maka kita tak bisa mengeluh bila bahagia dan luka datangnya tak tepat waktu.
Kita juga tak memegang tuas kendali, dan tak bertanggung jawab atas pedal yang menggerakkan roda perputaran rasa. Hingga bila seseorang jatuh, bukan kuasa kita untuk selalu menyambut dengan tangan membentang. Tiap kita punya kapasitas diri, tiap kita di anugerahi sepasang tangan. Bukan untuk menangkap sembarang harapan.
Maka, bila terlanjur aku atau bahkan kamu larut dalam pengharapan, kita tak bisa saling menjajikan rasa. Pun tak punya kuasa menawarkan luka, bukan? Jalani saja. Kita, satu sama lain tak berhak memaksa. Untuk kelak berakhir bersama. Karena takdir, ada di tangan Nya.
Hidup banyak melibatkan tanda tanya, sebagian diantaranya tak memiliki jawab.
Hidup juga banyak melibatkan tanda koma, pada suatu masa kita diminta berhenti untuk kemudian melanjutkan langkah.
Hidup pun banyak melibatkan tanda titik, sebagai pemisah satu bagian dengan bagian yang lain.
Dan kita, sering berhadapan dengan ketiganya.
Hingga kelelahan menggelayuti tiap jengkal langkah.
Kita telah banyak belajar, dari seorang Ibu yang memberi tak harap kembali. Lantas kenapa bila kita mengasihi malah berharap rasa serupa dari dia yang kita beri?
Kita banyak belajar dari sosok seorang ayah, wujud rasa yang terpenting adalah dalam bentuk laku. Lalu kenapa kita suka menterjemahkan rasa sebatas kata?
Kita telah banyak belajar dari kehidupan, bahwa apapun yang berdiri di atas bumi tidaklah kekal. Lantas kenapa kita takut kehilangan bahkan pada sesuatu yang sama sekali bukan milik kita?
Kita kadang terlalu jauh memandang ribuan langkah ke depan. Hingga sesederhananya rasa menjadi sulit diterima logika.
Komentar