Langsung ke konten utama

Sakit, Tanda Cinta Nya

"Bu, aku lagi sakit. Rambutku rontok lagi, banyak" 

Satu pesan masuk ke ponselku, pesan dari putriku yang merantau di belahan timur pulau Jawa. Pesan yang sampai satu jam yang lalu itu baru terbaca, dan tak ada pesan lanjutan, putriku pasti sedang lemah dan tidur-tiduran. 

"Badanmu panas, mbak? Ke dokter lah, jangan malas minum obat" balasku singkat 

Dalam hati aku berdoa, Tuhan, putriku sendirian di sana, yang Ia punya hanya engkau. Aku tak tau siapa temannya di sana. Aku mohon kuatkan Ia.

Aku teringat beberapa tahun yang lalu, ketika putriku masih kelas satu SMP. Sudah dua hari dia demam tinggi, tiba-tiba ia berlari menghampiriku ke dapur "ibu, rambutku banyak yang rontok" ia menatapku dengan wajah cemas, di tangannya menggenggam segumpal rambut. Dalam dadaku jantung berdegup sudah tak beraturan, tapi aku mencoba tenang. "Itu karena badanmu terlalu panas, rambutnya jadi rontok, makanya kita dokter ya" aku mencoba membujuknya . Ia nyaris menangis, kemudian mengangguk. "Aku engga mau botak bu" suaranya bergetar. 

Oh, sayang. Kamu kuat kan di sana? Kamu tidak menangis karena takut botak kan? Kamu harus mau bertemu dokter kalau ingin sembuh. Ah andai Palembang-Surabaya jaraknya sedekat titik pada peta, ibu sudah berlari menujumu, membawamu ke dokter dan mendulang obat ke mulutmu. Andai. 

Lama aku menatap layar ponsel, putriku membalas pesanku. 
"Engga bu, ga terlalu panas. Mungkin aku kelelahan, udah seminggu nih rontok terus. Ga mau lah ke dokter" 
Aku menghela nafas, ia masih sama, dokter seperti musuh baginya. 
"Liburan ini jangan main, banyak minum air putih" 
Kemudian pesan ku hanya di balas nya dengn kalimat singkat 
"Iya, bu"

"Saat kamu sakit, Allah menarik ceria di wajahmu, menarik nafsu makanmu, dan juga menggugurkan dosamu. Tapi ketika sembuh, Allah mengembalikan ceria dan nafsu makanmu, dosamu? Tidak. Tetap semangat mbak, semoga tiap helai rambut yang gugur itu juga membawa dosamu untuk berguguran"

Saat jauh seperti ini, selain dengan doa hanya dengan kata aku mampu memeluk putriku.
Tak sampai lima menit pesanku berbalas.
"Aaah ibu, aku kangen"
Aku hanya tersenyum, kemudian melanjutkan aktivitasku yang lain.
Semoga lekas sembuh putriku.

Komentar

kangaid mengatakan…
Ini hanya fiksi kan, Deb?
jokbelakang mengatakan…
Empat hal yang diambil dan dikembalikan ketika sakit :)
Deby Theresia mengatakan…
Kalo kata mbak putri mah fiksi bukan fiksi kang :D
Deby Theresia mengatakan…
Hoo iya, satunya lg apa mbak ain?

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan