Langsung ke konten utama

Ketika Ibu Bicara Cinta

Ketika ibu bicara cinta, ia tak akan mengungkap rasa dalam kata indah bagai penyair, karena ibu hanya mampu terbata menyelipkan doa di antara isak tangis kepada yang Maha Esa, untuk buah hatinya..

Ketika ibu bicara cinta, ia tak akan membungkus cinta dalam sekotak cokelat dan sebuket bunga. Karena ibu hanya mampu membuktikan cinta dengan menukar sepanjang sisa usia nya untuk kebahagiaan buah hati nya..

Ketika ibu bicara cinta, ia tak akan terus berbisik 'aku mencintaimu' . Tapi ia akan terus membuktikan bahwa 'aku benar mencintaimu' 

Ketika ibu bicara cinta, jarak yang semakin jauh malah menambah kuat nya rasa. Karena bagi ibu ikatan darah dan batin tak akan pudar walau lintas kota, pulau bahkan benua sekalipun..

Ketika ibu bicara cinta, bicara pada jarak, ia tak akan mengutuk ribuan kilometer yang terbentang antara ia dan kamu, buah hati nya. Ia hanya merenungi 'mozaik apa yang kau hadapi tanpa aku di samping mu, nak?' . Karena hati ibu selalu percaya pada apa yang ia yakini benar. Kamu, buah hati nya terjaga dalam dekapan tangan Tuhan.

Dan ketika ibu bicara cinta, ia akan takut dan dengan hati-hati meminta izin untuk sekedar menelepon kamu, buah hati nya yang dulu bisa ia peluk kapan pun ia mau. 

Lalu, ketika ibu bicara cinta, masihkah kamu hanya diam menikmati tiap tetes air mata nya dalam menahan rindu, masihkah kamu acuh dan memberi nya waktu sisa dari sepanjang waktu yang kamu miliki? Masihkah kamu tenggelam dalam dunia mu? 

-tulisan di atas di tujukan khusus untuk yang menulis-

Komentar

Nadhira Arini mengatakan…
Kerreenn as always, deebb 😆😆
Lisma Nopiyanti mengatakan…
Tulisan yang cantik mba debb :))
Deby Theresia mengatakan…
Mbak dhir, makasih udah baca teruss :**
Deby Theresia mengatakan…
Untuk Lisma juga nih, yg lg merantau :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan