Langsung ke konten utama

For The One Season of Autumn

Title : For The One Season of Autumn
Author : Deby Theresia
Fandom : 5 cm/second

Mantel  yang dikenakan Takaki tak mampu melindungi tubuhnya dari hawa dingin musim salju. Sejenak ia melempar pandagannya ke arah luar. Salju manutupi bumi, pemandangan di luar terlihat memutih. Seiring dengan butiran salju yang terus turun perlahan, Takaki ingat sesuatu. Ia merogoh saku mantel nya, mengeluarkan amplop kecil berwarna biru muda. 

konnichi wa, Takaki san, ogenki desuka. Kau ingat tentang bunga sakura? Yang gugur dengan kecepatan 5 cm/second? Aku menulis surat ini di bawah pohon sakura sebelah barat sekolah kita dulu. Kau pernah berjanji menemaniku melihat sakura gugur lagi. Tapi 10 tahun yang lalu, tak kan jadi musim semi kita yang terakhir bukan? Osaka, aku dan sakura menantimu, Takaki. Douzo mata irasshite kudasai.

Takaki melipat kembali surat itu dengan hati-hati, mengikuti lipatan sebelumnya, memasukkannya kembali ke dalam amplop biru muda dan menyimpannya di saku mantel. 

Maafkan aku, Akari. Aku tak datang di musim semi. Tidak untuk menyaksikan bunga sakura yang helai demi helai gugur membuat merah muda jalanan sekekelilingnya. Maaf aku datang di musim salju. 

Takaki berkata pelan, suaranya hanya mampu di dengar telinga nya sendiri. ia tak sedang bicara dengan Akari, bahkan bayangan Akari pun masih jadi teka-teki bagi Takaki. Sebab sepuluh tahun yang lalu saat mereka berdua merayakan hari kelulusan sekolah menengah atas, adalah hari terakhir mereka bertemu. Dan hari ini, Takaki akan berjumpa dengan Akari lagi. 

Dalam shinkansen yang kebetulan sedang sepi penumpang, Takaki melepas ingatan nya meluncur bebas bersama mesin waktu, memutar kenangan terakhir nya bersama Akari sepuluh tahun lalu. Saat dimana Takaki hanya mampu menyaksikan air mata Akari yang tumpah tanpa ia coba untuk menampung terlebih lagi menghapus nya dengan sehelai tissue. Ia tersenyum tipis mengingat saat itu ia mencoba meraih tangan Akari, tapi dengan tegas di tepis oleh si pemilik tangan. 

“mereka tak mengizinkan aku tinggal di Osaka, Akari. Mereka memaksaku ikut ke Tokyo”

“hai, wakarimashita” jawab Akari singkat

“aku berjanji akan sering berkirim surat dengan mu”

Ah Akari, aku bahkan tak menepati  janjiku. Surat-surat yang aku janjikan akan sering menyapamu, nyatanya tak pernah sampai. 

***
Dalam surat Akari yang ia terima satu minggu lalu, Akari menyampaikan bahwa ia akan menunggu Takaki di stasiun Osaka. 
Shinkansen telah melaju tiga puluh menit meninggalkan Tokyo, pemberhentian pertama adalah di stasiun Shin Yokohama, Takaki memilih shinkansen kelas nozomi  yang merupakan kereta tercepat atau ekspress. 
Pada pemberhentian pertama di Shin Yokohama, ia melirik jam tangan, pukul 15.30, sekitar dua jam lagi sebelum ia bertemu dengan Akari.

Aku bahkan belum menyiapkan kata-kata apa yang akan aku ucapkan padamu nanti, Akari. 

Bisiknya sekali lagi, ia bicara menatap ke arah jendela kereta, seolah ada wajah Akari di sana.
Sepuluh menit shinkansen berhenti di Shin Yokohama, kereta itu melaju lagi menuju pemberhentian selanjutnya, stasiun Nagoya. Takaki nampak makin gelisah, sesekali ia membuka kancing mantel nya, beberapa menit kemudian bibir nya bergetar, merangkulkan tangan nya sendiri mencoba menghangatkan tubuh. Takaki semakin salah tingkah saat shinkansen berhenti di pemberhentian terakhir sebelum sampai ke Osaka, yaitu tepat di stasiun Kyoto, sekitar empat puluh lima menit lagi menuju Osaka. 

Mungkin hanya kata ‘maaf’ yang harus aku ucapkan ketika bertemu denganmu nanti, Akari

Ternyata Takaki masih bergulat dengan batin nya, rasa bersalahnya terhadap Akari menjadi hantu dalam fikiran nya.

***
“konnichiwa... ini benar Takaki-ku?” 

perempuan dengan rambut hitam sebahu itu menarik-narik ujung mantel  yang dikenakan Takaki. 
Takaki menoleh ke arahnya, terdiam untuk beberapa saat kemudian senyum ceria di wajah perempuan itu berganti jadi mendung hingga tetesan pertama air mata nya jatuh tepat di sepatu kiri Takaki. Lagi-lagi Takaki hanya mampu menyaksikan butiran bening itu meleleh di pipi Akari.

“Akari, maukah kau mengajakku ke pohon sakura itu?”

Akari mengangguk pelan, keduanya berjalan membelah tebalnya salju yang menutup jalanan, jejak-jejak sepatu mereka ikut mengantarkan senja untuk semakin jingga, tanpa ada kata di antara keduanya. Hingga langkah mereka berhenti di bawah pohon besar tanpa daun pun bunga. Hanya ada ranting-ranting coklat yang tertutup salju-salju tipis. 

“ini...” Akari menatap ke arah Takaki, sedang Takaki mendongak menatap puncak pohon.
Salju masih turun walau kecepatannya rendah. 

“Akari!!!” Takaki mencengkram pundak Akari, matanya berbinar. 

“siang itu kau bilang, sakura yang gugur dari pohon nya seperti tetesan salju yang jatuh dari langit. Dan sore ini, aku bilang bahwa tetesan salju yang jatuh dari langit adalah seperti sakura yang gugur dari pohon nya. Kau paham makna nya, Akari?”

Akari menggeleng perlahan. 

“Akari, maafkan aku. Tak menepati janji-janji ku. Surat-surat itu, tiap pergantian musim selama sepuluh tahun belakangan, aku bawa hari ini. kau mau baca?”

“tentang liburan dan kuliah mu?”

“bukan, tentang yang lebih abadi daripada itu. Yang tinggal di hati dan jiwa. Perasaanku, Akari”

Mendung kembali membayangi wajah teduh Akari. Tanpa kata, ia lebih berani. Di hempaskan nya tubuh nya ke pelukkan Takaki. 

“kemana kau sepuluh tahun belakangan Takaki? Sampaikah surat-surat ku? Kenapa cerita ku tak pernah kau tanggapi? Kau tau aku kesepian? Kau tau bila aku ingin menghilangkan sepi harusnya sembarang orang sudah cukup. Tapi kau, Takaki”

Akari melepas pelukkan nya, menatap wajah datar Takaki, seolah menunggu jawaban.

“maafkan aku, aku hanya takut Akari, akan membawa mu berlabuh di mana? Sedang jarak dan kehidupan luas membentang di antara kita, sedang waktu bergulir tak terelakkan tanpa kepastian. Tapi setidaknya  dengan adanya jarak, usaha dapat di hitung. Hanya saja, gaya yang bekerja di antara kita, itu adalah pilihan. Dan hari ini, aku menemui mu semua ketakutan meleleh, yang tersisa hanya hangat genggam tangan mu Akari” 

Akari buru-buru melepaskan genggaman tangan Takaki. Ia mendadak salah tingkah, menghapus sendiri air mata nya. 

“Dan kau tau Takaki? Kehidupan kita tak jauh dari bunga sakura. mereka pernah terhimpun di satu pohon yang sama kemudian angin membawa nya jatuh melayang dengan kecepatan yang mungkin seragam 5 cm per second, tapi waktunya tidak sama. Pada akhirnya sakura-sakura itu tak lagi pada pohon yang sama. Seperti kita, dulu pernah berada dalam satu perasaan dan kegelisahan yang sama. Tapi angin membawa kita terbang menuju cita-cita kita” 

Kedua nya terdiam sejenak, nafas Takaki kian berat menahan dingin nya udara senja itu. 

“Takaki, aku akan menikah bulan depan. Datanglah kembali ke Osaka jika kau ada waktu”

-fan fiction pertama ini dibuat untuk menjawab tantangan Mahmuda Rizaldi-

Komentar

Fran mengatakan…
Love need expression...
Ah, Takaki!!!
Anonim mengatakan…
semangat debb
Deby Theresia mengatakan…
Wkwkwk aku tau siapo ini

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan