Langsung ke konten utama

Rindu

Pernahkah sekali saja dalam hidupmu memiliki pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini?

Novel Rindu adalah karya ke-20 dari penulis produktif Darwis Tere Liye, mengangkat tema sebuah perjalanan panjang penuh kerinduan, menyempurnakan rukun islam ke tanah suci. Dengan mengambil setting waktu pada tahun 1938 dimana Indonesia masih bernama Hidia-Belanda, dimana Indonesia masih dibawah pendudukan penjajahan Belanda. 
Novel dengan cover sederhana tapi manis ini sempat membuat saya terkecoh dengan menebak tema dan alur ceritanya. Atau mungkin saya yang terlalu memaksa melahirkan sebuah kesimpulan, hingga jadilah saya harus merawat kesimpulan yang lahir prematur. Novel ini bukan mengisahkan kerinduan antara dua insan seperti yang saya kira, lebih dalam dari itu, tentang kerinduan menyempurnakan rukun agama,  tentang sejarah nusantara, dan tentang pertanyaan-pertanyaan besar yang dibawa oleh penumpang dan terjawab di atas Blitar Holland.
Dengan mengambil setting tempat yang mendominasi di atas kapal Blitar Holland milik Belanda, novel ini tidak membuat jenuh mata yang membacanya, dilengkapi dengan bumbu-bumbu penyedap berupa penjelasan bagian-bagian kapal secara mendetail membuat pembaca seolah ikut berlayar bersama Blitar Holland.
Selain di ajak menjelajah setiap sudut kapal Blitar Holland, penulis juga mengajak pembaca untuk menjelajah nusantara di tahun 1938. 

Novel ini membuat saya jatuh cinta pada tiap karakter yang digambarkan di dalamnya. Pertama ada Daeng Andipati, seorang pedagang kaya dari Makasar, baik hati dan terdidik. Beliau membawa istri, kedua anaknya dan seorang pembantu dalam perjalanan ke tanah suci. Sosok Daeng Andipati yang digambarkan karismatik, terpandang dan dekat dengan kapten Philips seolah nampak kesempurnaan hidup yang dimilikinya, di tambah lagi beliau memiliki istri yang soleha, anak-anak yang lucu dan pintar, juga bisnis yang menjanjikan. Namun siapa yang mengira dibalik kesempurnaan yang tampak, daeng Andipati menyimpan kebencian yang teramat dalam di dadanya. Ialah kebencian pada sosok yang harusnya ia cintai, Ayahnya.

“...jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!”

Menatap kebencian Daeng kepada ayahnya, betapa kebencian itu bisa lahir dari orang yang harusnya kita cintai. 
Tapi lagi-lagi Tere Liye menyisipkan pencerahan, pesan sederhana yang tepat sasaran. Pertanyaan atas sebuah kebencian itu terjawab lewat sosok Gurutta Ahmad Karaeng.

Tokoh lain yang membuat saya jatuh hati adalah dua kakak beradik Anna dan Elsa. Ialah putri dari Daeng Andipati. Anna dan Elsa memberi warna ceria sepanjang perjalanan Blitar Holland, sosok mereka yang polos, lucu, periang dan menggemaskan membuat perjalanan dan konflik menjadi tidak begitu berat. 
Perjalanan ini juga dilengkapi oleh dua guru sekolah sementara untuk mengajar anak-anak yang ikut dalam perjalanan bersama Blitar Holland, ialah bapak Soerjaningrat dan bapak Mangoenkoesoemo. Sosok guru disini tentunya cerdas dan berwibawa namun juga mampu berbaur seolah menjadi teman bagi murid-muridnya. 

Selanjutnya, Perjalanan Rindu ini dilengkapi oleh kehadiran ulama mahsyur dengan kesempurnaan ilmu agama yang dimilikinya, beradab juga bijak. Terbukti empat dari lima pertanyaan besar dalam novel ini terjawab sempurna lewat lisannya. Gurutta Ahmad Karaeng ialah ulama yang baik hati dan dicintai banyak orang, sikapnya yang terbuka dan mau membaur kepada siapapun termasuk anak-anak seperti Anna dan elsa, persis yang diajarkan Rasulullah kepada kita tentang adab terhadap anak-anak. Sosok Gurutta begitu mengayomi kehadiran anak-anak di Blitar Holland. Gurutta juga akrab dengan beberapa orang Belanda di Blitar Holland. Ia sering makan bersama Ruben si Boatswain dan Chef Lars, juga sering diundang dalam jamuan penting bersama kapten Philips.

Sesempurna sosok Ahmad Karaeng, ia juga manusia. Ia memiliki kegelisahan dibalik bijaknya tutur kata. Bahkan pertanyaan kelima dalam novel ini lahir dari Ahmad Karaeng. 

Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seseorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya sendiri.

Tema cinta tak pernah lepas dari novel manapun. Kisah cinta yang dibawa oleh sosok kelasi pendiam yang suka menatap jendela bundar di kabin, bernama Ambo Uleng. Banyak sifat baik yang wajib diteladani dibalik diamnya lisan Ambo Uleng. Kecerdasan dan kecakapan Ambo Uleng dipaparkan lewat adegan heroik dalam  novel ini dan tak lupa kegigihan nya belajar mengaji juga sholat meski di usia dewasa dan meski harus belajar dari gadis kecil, Anna. Yang paling mengesankan dari sosok kelasi pendiam ini adalah jawaban atas pertanyaan terakhir dalam novel ini yang datang dari Gurutta Ahmad Karaeng lahir dari sosok Ambo Uleng. Jawaban yang ia berikan bukan melalui lisan tapi lebih ke perbuatan tangan. 

Tema cinta lainnya datang dari pasangan sepuh dari Semarang. Pasangan paling tua dan paling romantis di atas Blitar Holland.

“pendengaranku memang tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun, tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu. Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir anak-anak kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua”

Pasangan sepuh tersebut seolah memberi contoh kepada kita bahwa sejatinya cinta adalah yang diikat oleh tali pernikahan dan dibuktikan sepanjang perjalanan hidup. Bukan dengan bermesraan tanpa ikatan dan melanggar rambu-rambu agama. Sayangnya kisah cinta mbah putri dan mbah kakung membuat saya sempat menangis. Suatu hal terjadi di tengah perjalanan yang akhirnya melahirkan pertanyaan besar di Blitar Holland.

Tokoh terakhir yang juga merupakan tokoh terpenting di novel ini ialah Bonda Upe, guru mengaji bagi anak-anak di Blitar Holland. Bahkan pertanyaan besar yang pertama lahir dari kisah masa lalu Bonda Upe. Perempuan keturunan China ini menyimpan kegelisahan dalam dada yang membuat ia mengutuk masa lalu nya sebagai seorang cabo. Namun lewat lisan Ahmad Karaeng pula lah Bonda Upe menemukan jawaban atas gelisahnya, Bonda Upe tercerahkan. 
Dari kisah Bonda Upe ada sosok yang membuat saya lagi-lagi menitikkan air mata. Ialah suami Bonda Upe yang dengan tulus menerima masa lalu istrinya. Enhai, disaat Bonda Upe tengah terpuruk dalam masa-masa kelam yang dihantui masa lalu, ia dengan tulus menggenggam tangan istrinya itu untuk bangkit dan menatap masa depan. 

Selain berisi tokoh-tokoh yang membuat saya jatuh hati, novel ini juga mengangkat konflik yang tak biasa. Beberapa kali saya menggigit bibir dan melotot demi menahan tegang. Diantaranya adalah sosok Gori yang mencoba membunuh Daeng Andipati dan tragedi penyerangan bajak laut dari Somalia. Serta kisah terpenjaranya Gurtta Ahmad Karaeng di sel kapal. 

Dalam novel ini juga penulis menyinggung soal toleransi beragama. Dalam novel ini, di tengah perjalanan warga Belanda merayakan natal di atas kapal. Lewat dialog Daeng Andipati dan Anna penulis menegaskan bagaimana toleransi itu seharusnya.

“...tanpa menghadiri acara itu. Kita tetap menghormati mereka dengan baik, sama seperti Kapten Phillips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap bisa saling mengharga. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.”

Sampai di akhir novel dibagian prolog, ending beberapa tokoh sudah bisa ditebak. Seperti kisah Ambo Uleng dan gadis yang iaa cintai. 
Novel Rindu ini menjadi bacaan berbobot karena selain berisi konflik dan serangkaian peristiwa yang menyertai perjalanan panjang ke tanah suci, juga berisi cuplikan sejarah nusantara di masa silam yang dijadikan setting tempat dalam novel ini. 

Selamat membaca Rindu, dan siap-siaplah jatuh cinta pada setiap inchi kisah didalamnya.


Komentar

Deby Theresia mengatakan…
Yang mana yg manis mbak? Yg nulis resensi ini ya? Eheheh

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan