Langsung ke konten utama

negeri dongeng

Baru dua hari yang lalu aku pulang kampung, dalam hari-hari sebelumnya sudah membayangkan berada di rumah, di tengah keluarga bercengkrama hangat ditengah derasnya hujan yang turun, karena ini desember, puncaknya musim hujan. Tapi begitu memasuki travel yang akan membawaku ke rumah aku tau sedang dalam masalah. travel yang aku tumpangi per nya atau apalah itu namanya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi, sehingga ada lubang kecil saja hentakkan terasa ke ubun-ubun. 
Benar saja, memasuki persimpangan belimbing badanku terasa dihempas berulang kali. Kondisi jalan sepanjang Teluk lubuk, Simpang raja, Tais kembali mengalami kerusakan parah. Lubang-lubang besar kecil tak beraturan dihantam saja oleh sopir travel, oh my..... 
Baru kemudian aku dapat menghela nafas tenang ketika sudah memasuki daerah Handayani, jalanan mulai membaik lagi. 
Sampailah aku di rumah pukul 14.30, bergegas sholat zuhur. Baru satu jam duduk manis di rumah, seperti biasa listrik padam. Satu jam, dua jam tak juga hidup. Hingga menjelang isya listrik menyala lagi. Aku sudah tak asing dengan fenomena ini, jalanan rusak, listrik padam ber jam-jam. Aku sudah terbiasa sejak kecil. Tapi yang sedikit mengusik adalah kalimat-kalimat tajam orang kota, yang tiap kali aku menyebut Pendopo, “oh pelosok, oh dusun, oh dan sebagainya” 
Awalnya aku tak mengerti, se pelosok itukah Pendopo dimata mereka? Bahkan sebagian mereka yang berujar itu belum pernah datang langsung ke Pendopo, aku jamin bila kalian telah datang ke sini, ke dusunku. Akan ada penyesalan yang mendalam (jyaaaah segitunya Deb?) 
Iya, Pendopo lebih buruk dari yang kalian banyangkan. Hahah sungguh, kalian pasti tak mau lagi ke sini. 
Lalu, apa kolerasi judul dan isi tulisan ini? tenang, itu tadi baru sekelumit mukadimah. Duduklah santai, sambil minum teh karena aku akan mendongeng kepada kalian 
Sebelumnya perkenalkan, aku anak kampung asli. Lahir dan besar di Pendopo, setidaknya 17 tahun aku tinggal dan menghabiskan masa kecilku disini. Kalian tau Pendopo? Ialah negeri dongeng yang aku maksud, negeri dongeng di pelosok Sumatera bagian Selatan. Terletak kira-kira 148 km dari kota Palembang. Bila kalian datang dari arah Palembang, di km ke 120 *kira2* sebelum sampai Muara Enim ada sebuah persimpangan yang di kenal dengan Simpang Belimbing, nah menyusuri jalan itulah satu-satunya jalan untuk sampai ke Pendopo. Kenapa namanya Pendopo? Aku tidak tau.
11 tahun yang lalu, seorang gadis kecil yang penuh dengan pertanyaan di otaknya tengah duduk di teras rumah bersama laki-laki tua yang ia penggil dengan sebutan opa. Terjadilah percakapan di antara keduanya, 
“opa, opa lahir di Belanda ya?” tanya gadis itu polos
Laki-laki tua itu kaget dengan pertanyaan cucu nya,
“tidak By, opa lahir di Talang akar”
Si gadis kecil lantas terkekeh, bagaimana mungkin anak bule lahir di talang?
“opa, talang akar kan hutan” gadis kecil mengerutkan alisnya
“siapa bilang? Tahun 1933 opa lahir di rumah sakit tercanggih pada zaman itu, yang terletak di Talang akar. ayah opa, Tn. Bax bekerja di Stanvac, kami tinggal di rumah yang besar sekali. Talang akar dulu terkenal ke seluruh dunia karena merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia”
Si gadis kecil mendengarkan cerita opa nya, membayangkan betapa megahnya talang itu bila rumah sakit tercanggih di zaman itu terletak di sana. Tapi sepengetahuannya, dari cerita yang didapat, Talang akar adalah hutan. Ia sendiri tak tau pasti, sebab belum pernah ke sana. 

Ah, kenapa si penulis ini merambat-rambat ke Talang akar? Katanya bercerita tentang Pendopo? 
Karena Talang akar juga bagian dari Pendopo, negeri dongeng itu sendiri.
Demi membuktikan cerita kemegahan Talang akar, gadis kecil itu minta di ajak jalan-jalan melihat rumah sakit canggih dan rumah besar Tn. Bax.
Kali ini gantian opa yang terkekeh, “sekarang tidak ada lagi” jawab opa datar

Dan tahun lalu, saat si gadis kecil itu tidak kecil lagi *garuk kepala untuk kalimat ini* *abaikan*
Mungkin kalimat yang baik seperti ini :
Dan tahun lalu, saat gadis kecil beranjak dewasa. 19 tahun umurnya. gadis itu, aku. aku berkesempatan mengunjungi Talang akar, jaraknya sangat dekat dari tempat tinggalku. Rampung di tempuh setengah jam perjalanan. Tapi mengapa harus menunggu sekian tahun baru bisa ke sana? Entahlah, bila tak ada kepentingan untuk apa ke sana? Begitu kata mama.
Banyangan tentang bangunan rumah sakit tua, rumah lama, dan sederet bayangan tentang bangunan tua bergaya Eropa memenuhi kepalaku. 
Sayang sekali, Opa telah berpulang. Seandainya dia ada, aku bisa membayangkan betapa antusiasnya ia mengenang masa kecil di tanah kelahirannya. 
“pa, kenapa kita malah masuk ke komperta?” 
“iya, ini jalan ke Talang akar” papa menoleh sebentar demi menjawab pertanyaanku.
Di ujung jalan komperta, kami masuk ke jalan tanah berkerikil. Aku hendak protes lagi. Tapi papa lebih dulu bicara.
“ini satu-satunya jalan ke Talang akar, beruntung tidak hujan semalam. Kalau tidak kita akan melewati kubangan” papa tertawa kecil
Tidak lama, sampai lah kami di Talang akar. Papa mengajak berkeliling sebentar. Mengitari ruas jalan. Aku tertegun. Apakah opa berbohong tentang rumah sakit itu? Tentang rumah besar? Dan Stanvac? 
Di sana aku tak menemui bangunan tua bergaya Eropa seperti ekspektasiku, yang ada hanyalah beberapa rumah warga yang di kelilingi pohom-pohon besar. 
“ma, kata opa disini dulu ada rumah sakit besar? Ada rumah papa nya opa yang juga besar?”
“iya, tapi sekarang tidak ada lagi” 

Sejak hari itu, pertanyaan makin banyak tumbuh di benakku. Pertanyaan yang butuh jawaban dengan segera. Apakah orang-orang tua hanya berbohong tentang Talang akar, atau ada suatu kejadian mahadahsyat yang membumihanguskan kemegahan Talang akar, hingga habis tak bersisa meski puing-puing sekalipun. 

Berbekalkan rasa penasaranku, aku menyusuri mesin pencari serba tau. Google.
Keyword yang kugunakan adalah “Talang akar”. Dan kejutaaaan, aku menemui jawaban dari banyak artikel bahkan website pertamina. Bahwa benar adanya, Talang akar pernah berjaya di abad 19. Ladang minyak Talang akar mencapai titik kejayaan pada tahun 1922, di bawah kekuasaan perusahaan milik Amerika, Stanvac. Di tahun yang sama, Stanvac memutuskan membangun kilang minyak pemurnian di Sungai Gerong. Produksi minyak di Talang akar sekitar 20 ribu barel minyak mentah per hari, atau setara dengan 100 dolar AS per hari. Belum cukup sampai disitu, Stnavac memperluas daerah pengeboran hingga ke Pendopo. Masih panjang lagi sejarah perminyakan, tak bisa aku uraikan dalam tulisan ini. Dan tentang rumah sakit tercanggih tak berbekas itupun ada di berbagai artikel. Hanya saja cerita tentang rumah Tn. Bax tidak satupun aku temukan di artikel manapun. Hehe tapi aku yakin opa tidak berbohong soal ini.
Benar adanya, cerita tentang kejayaan Talang akar, Pendopo di masa silam. Sungguh pantaslah ini di sebut dongeng belaka. Karena anak cucu mu ini opa, hanya menjadi penikmat cerita dari orang-orang tua, pelaku sejarah sepertimu. Tak meninggalkan bekas, kecuali di beberapa bagian di Talang akar juga Pendopo ada sisa-sisa sumur minyak tua yang tak terproduksi lagi. Meski ada yang masih terproduksi, jumlahnya sangat sedikit. 
Dan inilah, potret Pendopo masa lalu dan masa kini. Dulu, nama Pendopo Talang akar dielu elukan masuk dalam sejarah minyak dunia. Carilah tentang sejarah perminyakan, akan masuk nama Pendopo Talang akar di deretan depan, biasanya. Namun kini, Pendopo Talang akar menjadi bagian pelosok yang terlupakan, bila tak berlebihan aku bilang juga terhina. Heh? Ya setidaknya dari mereka yang tidak tau sejarah. Kenapa pula kau anggap sejarah masa silam begitu penting Deb?
Ingatlah pesan Bung Karno, kawan. JAS MERAH. Meski Pendopo tempat menyeramkan untuk dihuni, ini tidak berlaku bagiku ya! *walau sesungguhnya aku berkali-kali merengek minta papa pindah ke Palembang* Tapi ia pernah menjadi penyokong terbesar perekonomian bangsa di Zaman itu, bila aku tidak salah ya. Setidaknya, dari perut bumi Pendopo pernah mengenyangkan perut para penjajah, eh? 
Ah sudahlah, Pendopo yang dulu bukanlah yang sekarang. 
Bila dulu ia jaya dengan minyak buminya, kini ia berusaha bangkit dengan tatanan baru. Menjadi kabupaten, setelah sekian lama menginduk kabupaten Muara Enim, kini Pendopo mandiri menjadi kabupaten PALI. Semoga langkah awal dari terbentuknya kabupaten yang baru seumur jagung ini mampu membawa Pendopo tak terlepas juga Talang akar menjadi lebih baik, semoga ke depannya jalan-jalan yang rusak dapat segera di perbaiki dan listrik tak padam berjam-jam lagi. Semoga. Bila tidak, mungkin ada baiknya kita undang Belanda lagi untuk menduduki daerah ini agar bisa semaju dulu. Eh? Tidak, tidak. Ini hanya masalah waktu. Pendopo pasti jadi lebih baik, bahkan lebih jaya dari sejarahnya di era 20 an. 

Dan untuk yg masih cari duit dari sisa-sisa minyak di lapangan Pendopo, stop hinaan kalian ttg pelosok ini. Barang sekali dua kali ke Pendopo sok iya paling menderita. Hati-hati dapet kutukan tinggal disini loh whahahaha *emosi* 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan