Langsung ke konten utama

papa, aku mencintaimu

Ini bukan tentang keluhan mahasiswi rantauan yang tak bisa menikmati ramadhan bersama keluarganya.. hanya catatan rindu untuk orang terkasih yang saat ini jauh dari dekapan pun pandangan..
Yaa begitulah, seorang mahasiswi sebut saja namanya 'aku' selalu protes kepada Tuhan tentang jarak yang terbentang antara ia dan kedua orang tuanya. Tak jauh memang, hanya sekitar 148 km ruas jalan yang harus ditempuh untuk menyulam rindu menjadi temu. Tapi si aku ini selalu saja berat menyembunyikan rindu yang menggantung dipelupuk mata, bila tak berujung pertemuan rindu-rindu tadi berubah jadi titik-titik gerimis yang membasahi pipinya.

"Aku rindu saat-saat ramadhan bersama mama papa, 2 tahun terakhir ramadhan jauh dari mereka. Terlebih lagi bulan ini papa ulang tahun, tahun ketiga aku tak mengucapkan secara langsung ucapan 'selamat ulang tahun papa' apalagi mencium pipinya" 

"Pulang ke rumah nanti kamu masih bisa menemui papa mu kan? Masih bisa makan sahur bersamanya dan istrinya di satu meja makan yang sama kan? Masih bisa mengucapkan selamat ulang tahun lewat handphone? Meski telat nanti kamu bisa mencium papamu kan?

"Iya" aku menjawab singkat

"Kamu jauh lebih beruntung daripada aku. Saat kau pulang kau masih bisa menemui papa mu, tapi aku saat pulang hanya bisa menemui ayahku di figura yang menggantung di dinding kamar" 

aku pun tertegun dan menghentikan protes panjang  ini pada Tuhan.. 
bagaimana aku boleh mengeluh sedang nikmat Tuhan tak mampu kuhitung-hitung dengan jari. Baru saja aku disentil karena nakal mempertanyakan kuasa Tuhan. Hanya jarak ruang yang memisahkanku dengan papa, sedang sahabat yang sedang chating denganku ini terpisah alam dengan ayahnya. Bagaimana aku bisa mengeluh dengan kesempatan yang aku milki. Saat pulang aku bisa memeluk dan mencium papa, mengadukan hari-hari lelahku sebagai mahasiswi tingkat akhir kepadanya, merengek meminta tambahan uang bualanan dengan berbagai alasan yang ku buat-buat. Sedang teman chating ku ini, saat pulang ke rumah hanya bisa mengusap nisan sembari menabur bunga di atas pusara ayahnya. Lalu aku masih ingin menanyakan kepada Tuhan tentang keadilan? 
Oh aku nampaknya masih betah mendongak ke atas, melihat teman-teman yang setiap hari bisa menjumpai papa dan ayah mereka. Tapi aku lupa menoleh ke bawah, ada teman yang menggantungkan rindu-rindunya di langit-langit kamar, memohon pada Tuhan berharap ayahnya datang barang sejenak dalam wujud yang seolah nyata walau hanya dalam mimpi. Ada teman yang hanya bisa meraba wajah ayahnya lewat foto, ada teman yang bahkan tak pernah ingat bagaimana wajah asli ayahnya. 
ah Tuhan maafkan hamba-MU yang penuh keluh kesah ini.. 

dalam lamunan yang kembali berujung penyesalan atas pengingkaran nikmat-Nya yang maha luas.. aku tak bisa menyingkirkan wajah papa dalam benakku, sosok lelaki yang mimik mukanya dingin, bahkan lebih dingin dari ice cream *abaikan* 
papa, kali ini menjelang hari ulang tahunmu, mbak tak menyiapkan kado apa-apa seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukan karena mbak kecewa atas kalimat yang selalu papa ucap kepada mbak, 

"Papa tidak butuh kado mbak, papa cuma berharap mbak bisa jadi anak yang solehah dan berbakti pada mama papa" 

papa, menjelang hari ulang tahun papa, menjelang hari pergantian bilangan usia papa, mbak janji tak akan ada kado berupa benda-benda seperti yang dulu mbak hadiahkan untuk papa. Karena sungguh semua itu bisa papa beli dengan sendirinya.. 
Papa, mbak ingin istiqomah menjadi solehah untuk menebus semua dosa yang dulu pernah mbak investasikan untuk papa dan istri papa (re: mama). Mbak ingin menjadi investasi akhirat kalian, menjadi jembatan kalian menuju keridhoan Allah..
papa, mbak mencintaimu ♥♥♥



Deby Theresia, Juli 2014

mungkin ini terlalu cepat untuk memperingati hari lahir papa, tapi rindu ini tak mau menunggu.. 

Komentar

Fran mengatakan…
Ayu Deby harus jadi anak yang sholehah!!! *terharu*

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan