Langsung ke konten utama

Berkunjung ke Dunia Tanpa Lelaki

Saat pertama kali mendengar tentang 'dunia tanpa lelaki' aku langsung membayangkan sebuah hunian yang berisi kaum hawa semuanya.. Lalu aku menebak-nebak, oh mungkin ini sebutan untuk pesantren. Tak ada niat untuk tau lebih jauh. Bahkan saat si pembicara bercerita tentang keunikan kehidupan kaum hawa disana, aku masih sibuk dengan laporanku. Hingga sampai di penghujung cerita pembicara dalam seminar keputrian itu memperlihatkan gambar-gambar penghuni dunia tanpa lelaki, aku tercengang.. ternyata memang pesantren, iya pesantren seperti yang aku kira. Tapi ini beda, bukan pesantren impian para santriwati, pun orang sepertiku yang mengidam-idamkan kehidupan pesantren. 

Ini pesantren dibalik jeruji, pesantren dengan baju seragam berwarna biru tua yang di bagian punggung baju nya bertuliskan 'lembaga permasyarakatan' 

Hingga... kini, entah bagaimana Tuhan dengan tinta Nya menuliskan takdirku untuk bisa berteman dengan penulis buku yang selama ini ku cari-cari bukunya, dari toko buku satu ke toko buku yang lain, dari bulan ke bulan aku mencari judul buku nya dengan mesin pencari yang setia berada di pusat toko. Aku tak menemui buku itu. Mungkin sudah habis fikirku. Lalu, saat aku berhenti mencari, disanalah Tuhan mengambil peran, ia pertemukan aku bukan hanya dengan buku yang kucari, tak tanggung-tanggung sekaligus dengan penulisnya.

Aku seperti menemukan obat untuk rasa penasaranku. Ingin tau lebih jauh tentang pesan apa yang ada dalam buku ber cover pink dengan gambar siluet wanita berjilbab dibalik jeruji (itu dulunya, sekarang cover bukunya berwarna hitam).

Pertemuan demi pertemuan ia sering bercerita kehidupan pesantren jeruji, lebih dalam dari apa yang tertuang dalam bukunya. Aku selalu antusias melempar beberapa pertanyaan sebagai respon dari penuturan kisah nya. Seperti : "kenapa perempuan-perempuan itu bisa masuk ke sana kak?"
 "salah mereka apa? Bagaimana perasaan keluarga nya kak?"

Dan kalian tau? Ada hal menarik, lebih dari sekedar obat untuk rasa penasaranku. Tapi mungkin ini lebih pantas disebut pembelajaran di universitas terbuka yang kita namai kehidupan. Ide itu datang dari kak Dezrina yang mengajak tim spj bersama gssi untuk buka bersama di lapas wanita, karena menurutnya buka bersama di panti asuhan sudah terlalu mainstream, maka kita coba berbagi dengan mereka yang 'terbuang' yang keberadaan nya mungkin terlupakan karena terisolasi dibalik jeruji besi.

Dan pada waktu yang mungkin bukan cuma aku yang menantinya, kulihat antusias dari semua teman-teman spj. Ini kali pertama kami berkunjung ke lapas wanita -terkesan norak mungkin- :D . kak Dez hanya berpesan disana nanti bersikaplah biasa, mereka manusia juga. Jangan terlalu takut.

pukul 17.30 kami sudah sampai di gerbang pesantren itu. Kulihat bangunan nya biasa saja. Berbentuk gedung. Tapi agak aneh memang bangunan sebesar itu memiliki pintu yang begitu mungil, kak Dez yang tingginya 170cm nyaris menyentuh langit-langit pintu. Dugaan ku tentang gedung itu salah, setelah melewati pintu mungil tadi, kami disambut lagi dengan properti khas, jeruji besi dan rantai-rantai. Sejenak aku memandang jauh ke dalam. Ku lihat pemandangan yang lebih mirip gedung-gedung sekolah, dengan ruang-ruang kelas yang melingkari lapangan yang cukup besar, mungkin semacam lapangan basket -ah ini hanya imajinasiku saja. Tak ada lapangan basket disana-

tapi setelah melangkahkan kaki memasuki gerbang kedua, pintu jeruji putar entah apalah itu sebutan nya.. aku malah melihat bangunan tadi seperti apartemen, dengan kamar-kamar yang berwarna warni. Ya sebuah apartemen sederhana dengan dinding depan nya jeruji, lagi-lagi jeruji.. dan tibalah kami pada gedung yang mereka sebut aula, disana sudah berkumpul sekitar 200 lebih wanita penghuni bangunan yang nampak seperti sekolah dan apartemen -menurutku-

sambutan mereka begitu hangat, ramah dan antusias dengan kedatangan kami. Aku masih belum berani mengangkat kepala ku yang tertuduk sejak memasuki aula tadi . Setelah sekian menit kurasa pening, aku mengangkat kepalaku. Dan inilah bagian yang ku benci. Aku tak bisa menahan emosi, luapan emosi itu berubah jadi bulir-bulir air bening dari sudut-sudut mata. Emosi? Aku marah? Bukan.. aku hanya protes, kenapa perempuan-perempuan itu bisa ada di sini? Untuk yang masih muda, bagaimana sekolah nya? Untuk yang paruh baya, bagaimana keluarga dan anak-anaknya? Untuk yang remaja, bagaimana masa depan nya?

Ah entahlah, Tuhan lebih tau tentang jalan mereka. Dalam hati aku hanya berdoa semoga mereka lebih tegar dari yang tampak di mataku. Semoga mereka lebih kuat dan lebih sabar melewati hari-hari mereka

 sayu di wajahku dan teman-teman spj begitu kontras dengan perempuan-perempuan perkasa di hadapan kami, mereka begitu ceria, nampak begitu ikhlas, ah mungkin pasrah lebih tepatnya. Mereka tersenyum, tertawa lepas sesekali saat tengah mendengar tausiyah dari ustadz yang mengisi kegiatan sore itu. Disini aku merasa kalah, dikalahkah oleh perempuan-perempuan hebat yang pandai menyimpan duka.

Siapa bilang diri ini jauh lebih bersih dari mereka yang terenggut kebebasan nya itu. Mereka hanya terpenjara berdasarkan putusan hakim dunia yang keadilan nya masih tanda tanya. Sedang kita? Belum, kita sama-sama belum merasai peradilan Tuhan.. Ia hakim yang seadil-adilnya. Bukan jaminan diri kita yang bebas ini jauh lebih mulia kedudukan nya dimata Tuhan daripada mereka yang terpenjara. Bahkan mungkin lewat kurungan itu mereka menemui Tuhan lebih khusyuk daripada kita. Mungkin kita melupakan kisah orang-orang terfitnah dan orang-orang yang sebenarnya hebat, tapi pernah terpenjara. Nabi Yusuf A.s, Buya Hamka, dan Soekarno. Cukuplah menjadi pengingat bahwa tak selamanya 'terbuang' itu hina

Andai setiap dosa kita pada Tuhan diberlakukan hukuman kurungan, mungkin tak ada di dunia ini yang bebas hidup di luar jeruji besi. Barsyukurlah (:

-pengamatan dan perenungan akan luasnya nikmat Tuhan untuk kita, atas jiwa yang masih dibiarkan Nya bebas menikmati dunia. Padahal ia berlumur noda. Bersyukurlah dan perbanyaklah mengingat Tuhan, Allah :)-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan