Langsung ke konten utama

cerita pendek

ini tentang cinta yang tetap remaja dan tak menua bersama umur

dua pekan lalu saat aku dan temanku dalam perjalanan menuju sebuah toko kimia, aku melihat pemandangan menyejukkan dan mendamaikan di bawah matahari yang bersinar terik siang itu.
Saat itu kami terjebak macet. Menjengkelkan memang, orang-orang yang berada di dalam mobil ber AC pun mengerutkan keninggnya karena bosan tenggelam dalam kemacetan, apalagi kami yang harus rela terjemur di atas motor. Aih bersyukur saja, jika tak punya motor tak mungkin terjebak macet kan? Hehe

Aku pun nyaris tenggelam dalam lamunan panjang, menatap kosong ke ujung jalan. Tapi ada yang menarik perhatianku. Dari ujung trotoar itu sepasang kekasih berjalan bergandengan tangan, si perempuan membawa tas putih kecil di tangan kiri nya dan tangan kanan nya menggandeng lelaki yang menjinjing tas yang ukuran nya cukup besar.
Dan tepat di bawah pohon rindang, mereka menghentikan langkah. Jaraknya tak jauh dari motor kami. Mereka duduk berhadapan, entahlah apa yang mereka bicarakan. Sesekali si perempuan terlihat menyeka keringat di kening lelakinya.

Jika yang kulihat itu sepasang remaja yang tengah berpacaran tentulah aku tak setakjub ini, tapi dua orang yang menyita perhatianku hingga lupa panasnya matahari yang menjilat kulit itu adalah pasangan tua renta, iya mereka tak muda lagi, terlihat kerutan-kerutan di wajah mereka. Ku tebak usia nya sekitar 70 tahunan.

Sekian menit aku disuguhi dengan pemandangan tadi, tiba-tiba motor yang memboncengku melaju pelan. Namun aku enggan cepat-cepat melepaskan pandanganku yang telah terpana dengan dua sejoli yang masih larut dalam perbincangan serius, mereka tak menghiraukan hiruk pikuk suara kendaraan yang mengaum di sekitar mereka. Mereka seolah punya dunia sendiri, ya seolah ada sekat yang membatasi kami yang berada di jalanan dengan mereka berdua yang berada di trotoar.
Semakin jauh motor melaju, sepasang kekasih tadi telah lenyap dari pandanaganku.

Dan dalam hitungan menit kami pun sampai di toko yang kami tuju, saat motor memasuki parkiran aku meluncur turun dari motor. Dan tebak apa lagi yang kudapati?
Tuhan seolah tau aku masih belum puas mempelajari apa yang membuat pasangan tua tadi begitu romantis. Ia suguhkan lagi pemandangan serupa, kali ini datang dari sepasang yang sedikit lebih bugar dari yang pertama tadi, meski mereka sama-sama tak muda lagi.
Sama halnya dengan pasangan sebelumnya, sang kakek menggandeng nenek yang memegang payung. Genggaman tangan mereka begitu erat.

Aih Tuhan, sekarang aku tau. Yang membuat mereka begitu menakjubkan adalah cinta, cinta yang tetap remaja di usia senja. semoga kelak aku bertemu dengan orang yang sama-sama mencintai-Mu, hingga kami menjadi bagian dari pelaku sejarah yang cintanya merekah hingga senja usia pun tak mati terkubur bersama jasad yang terkafani bahkan bisa bersama kembali di jannah-Mu nanti. 



-Deby Theresia, Juni 2014-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan