Langsung ke konten utama

Antara Aku dan Kamu Ada Jarak

“jangan pergi kak, nanti aku tak punya teman cerita lagi” 

aku merengek di telepon membujukknya. Gadis yang hanya berbeda usia satu tahun denganku itu sejak kecil sudah ku panggil kakak.

“kan masih bisa cerita lewat telepon” 

ia menanggapi dengan suara ceria nya yang khas. Aku tak menangkap ada rasa sedih ia meninggalkan kampung halamannya. Ah atau hanya perasaanku saja.
Aku buru-buru menutup telepon tak mau Anggun tau air mataku mulai mengalir. Aku tak mau Anggun tau perempuan yang bahunya biasa ia pakai untuk bersandar ini begitu rapuh dan cengeng bila berhadapan dengan perpisahan.

Sejak seminggu yang lalu saat ku dengar kabar Anggun akan benar-benar pergi ke Batam aku selalu gelisah dan uring-uringan. Bagaimana tidak gelisah, teman baik yang ku kenal sejak masih sama-sama buta aksara bahkan sejak sama-sama belum bisa bicara itu akan pergi ke pulau yang jauh dari selatan Sumatera ini.

Malam ini aku tak bisa tidur, menatap dinding-dinding kamar yang hanya seluas 2x3 meter, menerawang bebas ke langit-langit kamar yang banyak bercak airnya. Ku baringkan tubuh ke kanan dan ke kiri, berusaha mengundang kantuk namun tak kunjung datang.
Besok keberangkatan Anggun ke Batam, aku sudah berjanji ikut mengantarnya ke bandara. Sayang malam ini aku tak bisa ikut berkumpul di rumah nya. Pasalnya aku sedang berada di kota Palembang yang jaraknya lumayan jauh dari kampung kami.
Baru saja selesai makan malam dengan Valen, teman satu kamarku di rantauan, aku melihat handphone, satu pesan di terima.

“Dek, besok jadi kan ikut mengantar kakak ke bandara”

Aih jarang sekali ia memanggilku dengan sebutan ‘dek’ bila tak ada mau nya. Aku tau ia kini tengah membujuk aku yang sejak seminggu yang lalu merajuk karena tak ingin ia pergi.

“iya kak” jawabku singkat

“mama kamu lagi ada di rumahku dek, mau titip salam kangen buat mama? Heheh”

Ia mencoba mencairkan kebekuan sikapku. Tapi aku masih tak bergeming, aku masih ingin merajuk sampai ia membatalkan niatnya berangkat meski itu tak mungkin.
Sekian menit menatap layar handphone hingga tak sadar ada yang jatuh, gerimis dari sudut mata rupanya. Ku seka air mataku.
Lima menit kemudian ada pesan masuk lagi, kali ini bukan dari Anggun tapi dari mama ku.

“Tere besok jadi ikut ke bandara kan? Mama sedih Ter, pertama kalinya mama liat gadis ceria itu menangis saat mama peluk”

Pesan singkat penuh makna itu membuat gerimis yang tadi mulai reda kini menjadi hujan.

Aku memang egois bila tak membiarkannya pergi ke Batam, aku akan jadi sahabat terjahat bila tega membiarkannya terkurung di kampung, menjadi katak dalam tempurung. Sementara aku kuliah dan menikmati pendidikan di universitas impianku.

Aku ingat percakapan kami di suatu siang menjelang pengumuman kelulusan SMA. Saat pertama kali Anggun mengutarakan niatnya untuk bekerja di Batam.

“pokoknya kakak tidak boleh pergi, kerja di sini saja. Sebulan sekali aku janji akan pulang kampung dan berbagi cerita baru”

“Tere andai aku ini sepertimu, lulus SMA bebas pilih mau kuliah di mana tapi sayangnya aku hanya mimpi untuk bisa kuliah sepertimu. Kalau kerja di sini, aku tak akan dapat pengalaman apa-apa. Kan sama-sama adil kalau aku juga merantau”

Aku hanya diam tak bisa menjawab, kata-kata nya seolah jadi sembilu yang menyayat hati, pilu. Sahabatku ini bukan dari keluarga berada, ke tiga kakak Anggun perlu kerja keras untuk menyandang gelar sarjana, ke tiga kakak nya bekerja sambil kuliah. Mungkin akan seperti itulah nasib sahabatku ini, ia di bentuk untuk jadi mandiri.

Dan lamunanku semakin jauh mengantarku ke masa silam, memutar kembali kenangan dari ribuan hari yang telah kami lewati bersawa. Kali ini aku mengenang 11 tahun yang lalu saat kami masuk sekolah dasar, umurnya 6 tahun dan aku baru 5 tahun. Ia menjadi malaikat penjagaku di sekolah. Dengan gaya nya yang tomboy tapi tetap anggun, ya se anggun nama nya. Ia selalu melindungiku dari ulah jahil teman-teman sekelas yang rata-rata usianya lebih tua dariku. Maklum lah, aku ini anak bawang dulunya karena umurku belum mencukupi untuk duduk di bangku sekolah dasar. Tapi karena Anggun sudah berseragam putih merah aku menolak masuk taman kanak-kanak, alasannya karena baju seragamku nanti tak sama dengan Anggun. Dan dengan susah payah mamaku meminta izin ke pihak sekolah agar aku bisa satu kelas dengan Anggun, dengan perundingan yang alot akhirnya aku bisa di terima di sekolah tempat Anggun belajar.

Hari-hari kami begitu bahagia, menghabiskan waktu bersama mulai dari bermain sampai mengerjakan tugas. Mencoba hal baru dari ide-ide gila yang memang kadang tak rasional dari seorang Anggun. Aku ingat pernah suatu hari ia mengajakku mandi di sungai di tengah hutan. Tempat rahasia, begitu Anggun menyebutnya, kami berangkat dari rumah jam 2 siang dan tanpa izin dari orang tua kami tentunya. Pulang dengan pakaian basah kuyup dan kulit yang menghitam juga gersang akibat setengah hari berendam di sungai, kami hanya berharap tak bertemu mama dan bisa mengendap-endap masuk rumah untuk mengganti pakaian sehingga hanya jejak hitam pada kulit saja lah yang tertinggal. Tapi sayang harapan kami sirna, dari ujung jalan kami melihat seorang wanita berkacak pinggang berdiri di depan pagar rumah ku, ya siapa lagi kalau bukan mamaku.

“siap-siap di cubit Ter” bisiknya. 

Aku mulai gemetar, bukan karena kedinginan tapi takut menghadapi mama, takut tak dapat izin main selama seminggu.

“tapi tenang, aku saja yang menjelaskan. Kamu diam saja nanti ya” 

katanya lagi sambil merangkul bahuku. Ia berjalan dengan tenang sementara aku mulai ragu untuk melangkah ke rumah.
Sampai juga di depan pagar, aku hanya menunduk mengahadapi kepanikan mama. Seperti instruksi dari Anggun aku hanya diam dan menunduk menanggapi pertanyaan yang bertubi-tubi dari mama.

“kami baru pulang dari menjelajah, tante. Kami main di sungai dekat rumah tante Susi”

Anggun menjelaskan dengan suara dan wajah tanpa dosa. Mendengar itu mamaku semakin panik. Pasalnya aku tak bisa berenang.

“Anggun kamu ini ada-ada saja, Tere kan tidak bisa berenang. Kalau hanyut gimana coba?”

“arus sungai nya kecil tante, buktinya Tere tidak hanyut kan” 

Anggun menjawab dengan polos di sertai senyumnya khas nya yang memperlihatkan barisan gigi nya yang jarang-jarang itu. 

“lain kali jangan lagi ya, mama laporkan ke papa kalau kamu ulangi” Mama mengancamku.

“kita tidak di cubit Ter” Anggun berbisik sambil mengacungkan jempolnya.

Dan malam ini, kisah-kisah lain yang terekam rapi di memori otak mengisi lamunan panjangku. Semua tentang Anggun, sosok yang merangkap tiga peran sekaligus buatku, sebagai sahabat, sepupu juga kakak, tentang kebersamaan kami yang sudah belasan tahun.

Kak, kita dulu mungkin tak pernah berfikir bahwa suatu saat kita akan bertemu dengan perpisahan yang kemudian membuat kita harus berteman dengan jarak yang akhirnya mengenalkan kita pada rindu. Tapi, aku sungguh berterimakasih kepada Allah yang menulis skenario begitu indah untuk kita. Bahwa long distance relationship ini tak seburuk yang mereka ceritakan. Dan untukmu yang berada di seberang pulau, aku masih bisa memelukmu dalam doa, aku masih bisa menjumpaimu lewat mimpi, dan aku masih bisa dengan jelas mengingat wajahmu untuk aku bawa ke hadapan Allah di setiap akhir sujudku. Dan untuk sekian waktu yang kita lalui sendiri-sendiri semoga tak memudarkan cinta dan kasih sayang di antara kita. Suatu hari, kita akan bersama lagi. Entah kau yang pulang atau aku yang menyusulmu.

-Deby, Juni 2014-


Komentar

dontknowwhoiam mengatakan…
bagus deby tulisannyo.. berbakat nulis ternyata :)
Deby Theresia mengatakan…
Makasih mb Mayzar, masih belajar ^^

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Aku Juga Menunggu, Bu

Pagi ini Ibu gelisah, wajahnya terlihat jengkel. Bolak-balik ia masuk kamar. Akhirnya tanpa kutanya, ia menjawab. "Adikmu jika ditunggu lama sekali"  Aku tersenyum tipis, "aku juga sedang menunggu, bu"  "Siapa?"  "Entahlah"  Ibu kemudian meninggalkanku, mungkin ia semakin jengkel, mungkin ia kira aku menggodanya. Padahal aku sungguh-sungguh menunggu. Meski tak tahu siapa yang kutunggu.  ...bukankah kita tak perlu 'apa dan siapa' untuk bisa menunggu?  Bukankah menunggu hanya perlu keyakinan bahwa yang ditunggu pasti datang?  Apapun itu, siapapun itu...  Hey, kamu... aku masih menunggu Pendopo, Juli 2015

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan