Langsung ke konten utama

Tulisan Untuk Sebuah Kedatangan #2

Aku pernah memikirkan, hal apa dalam diriku yang kira-kira sulit untuk diterima oleh pasanganku nanti. Apakah ketidaksempurnaanku, ataukah kekuranganku. 

Tapi, jauh sebelum pertanyaan itu aku berikan untuk orang yang nanti akan datang, aku meminta diriku sendiri terlebih dulu untuk menjawabnya. Hal apa yang sulit aku terima dari diriku sendiri? Ternyata jawabannya adalah masa lalu.

Lalu, bagaimana aku bisa meminta orang lain untuk menerima hal yang bahkan aku sendiripun belum bisa menerimanya? 

Kalau tak dimaafkan sejak sekarang, tak diterima sedari kini, kapankah kita akan belajar untuk memetik hikmah dari masa lalu? - Tanyaku pada diri sendiri. 

Kelak, pekerjaan kita akan semakin berat. Pikiran kita akan semakin terbeban, kalau perihal diri sendiri saja kita belum selesai, bagaimana kita bisa mulai menata kehidupan baru dengan orang lain?

Maka dari itu, aku pelan-pelan memaafkan diriku sendiri. Tidak mudah memang, tapi terus-terusan membenci diri sendiri jauh lebih sulit. Dan maaf itu, tak akan utuh tanpa penerimaan.

Maafku pada diri sendiri, tak akan utuh tanpa penerimaanmu terhadap masa laluku. Begitulah kira-kira.

Aku rasa, kamu, yang nanti akan datang, tidak perlu mencintaiku seluruh, sebab ada bagian dalam diriku yang tidak harus kamu cintai, tapi cukup kamu terima.

Iya, karena untuk membangun masa depan kita tak perlu saling mencintai masa lalu, cukup kita belajar darinya. Masa lalu boleh jadi milikmu dan orang lain, boleh jadi milikku dan orang lain, tapi masa depan akan jadi milik kita. 

Selamat bekerja untuk masa kini dan nanti. 

Sleman | Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepag...

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan" (Imam Syafi'i) Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi. Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas.  Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung.  Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kemb...

Setulus Cinta Ayah

Suatu sore di teras rumah  "Ayah, jika suatu hari aku menikah, laki-laki seperti apa yang pantas untukku?" Gea memecah suasana hening dalam permainan catur sore itu.  Ayah menghela nafas, kemudian tertawa sebelum menjawab "Yang bisa main catur lebih hebat dari ayah" Gea melempar pandangan nya ke wajah ayah.  "Banyak dong yah yang bisa main catur, serius ih"  "Skak mat!!! Yes ayah menang" ayah tertawa puas Gea makin jengkel.  "Putriku sayang, permainan catur adalah seperti menkalukan kehidupan. Bila ia punya strategi yang bagus, menanglah ia dalam permainan. Sama seperti hidup, bila ia punya misi yang jelas dalam mewujudkan visi nya, ia adalah pemenang. Tak kan di perbudak dunia. Permainan catur adalah bagaimana berfikir jeli dan jernih, melihat peluang tanpa tergesa-gesa. Sama seperti pada kehidupan. Semoga kau paham"  Ayah mengacak-acak rambut putri semata wayang nya yang beranjak dewasa. Gea bertan...