Langsung ke konten utama

Setulus Cinta Ayah

Suatu sore di teras rumah 

"Ayah, jika suatu hari aku menikah, laki-laki seperti apa yang pantas untukku?"
Gea memecah suasana hening dalam permainan catur sore itu. 

Ayah menghela nafas, kemudian tertawa sebelum menjawab
"Yang bisa main catur lebih hebat dari ayah"

Gea melempar pandangan nya ke wajah ayah. 
"Banyak dong yah yang bisa main catur, serius ih" 

"Skak mat!!! Yes ayah menang" ayah tertawa puas
Gea makin jengkel. 

"Putriku sayang, permainan catur adalah seperti menkalukan kehidupan. Bila ia punya strategi yang bagus, menanglah ia dalam permainan. Sama seperti hidup, bila ia punya misi yang jelas dalam mewujudkan visi nya, ia adalah pemenang. Tak kan di perbudak dunia. Permainan catur adalah bagaimana berfikir jeli dan jernih, melihat peluang tanpa tergesa-gesa. Sama seperti pada kehidupan. Semoga kau paham" 

Ayah mengacak-acak rambut putri semata wayang nya yang beranjak dewasa.

Gea bertanya lagi, 
"Ayah, ada laki-laki yang mencuri perhatianku. Selalu bertanya 'sudah makan ge?' 'Lagi apa ge?' . Yaah ga seperti ayah, yang sms cuma seminggu sekali pun. Dia kah yang pemain catur terbaik itu, yah?" 

"A a" ayah geleng-geleng kepala
"Belum keren kalo berani nanya gitu sama kamu, keren kalo dia berani ketemu ayah haha" 
Ayah nyengir lebar, Gea makin bingung. Ia garuk-garuk kepala yang seseungguhnya tidak gatal. 

Dan kenangan satu bulan yang lalu menggantung di langit-langit kamar kost Gea, matanya berkaca-kaca sambil tangannya menggenggam erat bingkai foto yang berisi gambar dirinya bersama ayah. Laki-laki dengan kesejatian cintanya yang telah berpulang kepada sang pemilik kehidupan, Tuhan. 

"Ayah, kini aku paham. Kenapa aku tak butuh laki-laki dengan cinta semu, karena kau telah tunjukkan padaku, mendekap itu bukan merangkulkan kedua tangan di tubuhku, tapi cukup dengan doa seperti yang kau lakukan dalam sujudmu, bahwa mencintai itu tak harus di ungkapkan dalam kata, tapi cukup dalam laku, seperti yang kau lakukan. Ayah, bahkan hingga kau tiada, aku merasa kau masih memelukku, karena cintamu tak ikut mati dan terkubur bersama jasadmu yang kaku. Terimakasih, dekapanmu menguatkanku" 

Komentar

Unknown mengatakan…
Debby *berkaca kaca*
Nadhira Arini mengatakan…
Onde mande, deby. Rancak banaaaa!! Seperti biasaa, keyen kali fiksimu inii. Aaaa
Deby Theresia mengatakan…
Duileeeeh ada bunda nya Az sm An :p
MAaciww mbak dhirr ku
Deby Theresia mengatakan…
Haha belum bisa move on ke nonfiksi
Deby Theresia mengatakan…
Haha belum bisa move on ke nonfiksi
arian sahidi mengatakan…
duh, endingnya bikin nyesss ini mata, hikz...

salam kenal, ya. tetap berkarya. ini kunjungan pertama dan sepertinya saya harus berlangganan dengan tulisan-tulisan di blog ini. :)
Deby Theresia mengatakan…
Wah, salam kenal. Terimakasih sudah berkunjung :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Rumah adalah

Mendengar kata 'pindah' yang pertama kali terbayang adalah 'adaptasi'  Adaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, bahkan mungkin kebiasaan baru. Jauh-jauh hari sebelum pulang, aku memikirkan hal itu. Meskipun menurut Ibu, aku ini orang yang senang berpindah, tapi jujur aku tidak suka dengan kata itu. Aku malas menjadi 'orang asing' di tempat baru. Terlebih itu rumah orangtuaku sendiri.  Tapi ajaib, berbeda dari pengalaman yang sudah-sudah. ternyata memang berpindah-pindah tempat kos jauh lebih menyebalkan dibanding pindah rumah.  Bahkan hei, tahukah? Sejak detik pertama aku menginjakkan kaki di tempat baru ini, aku tidak merasa menjadi 'orang asing'  Kakiku seperti sudah paham ke mana harus melangkah, seperti sudah hafal seluk beluk rumah ini.  Kini aku sadar, perkara rumah tak bisa disamakan dengan apa pun.  Karena rumah adalah tempat di mana aku menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kehidupan yang tidak ku dapat di luar sana.  Ka