Langsung ke konten utama

Tentang PLN, yang Terakhir

1 November 2017 

Subuh kala itu masih sama dinginnya dengan subuh-subuh sebelum tanggal 1. Ketika berat kelopak mataku melawan kantuk, kulihat satu pesan masuk dari salah seorang teman, dia bilang PLN sudah pengumuman. 

Masih jelas terasa tiap perasaan yang menggiring jari-jariku menuju laman rekrutmen PLN, tanpa gugup apalagi debar-debar penuh harap. Sebab sejak lama sudah harapanku tak lagi menyala. Halah wkwkwk 

Jadi intinya, pas mau buka akun di rekrutmen PLN, itu biasa aja. Pas udah kebuka akun ku, ternyata aku ga lulus. Terus ga ada rasa kecewa yang berlebihan, ga ada rasa sedih, sesedih waktu aku ga lulus FK Unsri. Iya, gaada perasaan begitu. Cuma yang 'oh ga lulus, yaudah' . 

Setelah kukabarkan kepada Ibu, tentang tertolaknya pinangan dan ikhtiarku pada si 'petir' barulah aku merasa kecewa, sebab rasanya aku kalah, tidak mampu memenangkan 'kompetisi' ini untuk orang-orang terdekatku, terutama Ibu. 

Usai sholat Subuh, aku terduduk lama di Sejadah, kepada Allaah, aku ucapkan banyak terimakasih, sebab kukira inilah jawaban doa dan gelisahku selama mengikuti proses seleksi calon karyawan PLN. 

Kenapa aku gagal di tahap wawancara? 

Pertanyaan itu hadir ketika sepupuku bertanya 'kan udah tahap akhir, kamu bohong ya bilang ga lulus?' Wkwkw menyebalkan. Aku bertanya-tanya sendiri kemudian menemukan banyak kemungkinan yang hinggap di kepalaku. 

Tapi dari banyak kemungkinan itu, dan terlepas dari jawabanku yang mungkin 'salah' atau tidak perlu ketika proses wawancara, hanya satu kesimpulannya yang tepat; takdir . Ya emang bukan rejekinya di situ. 

Aku kembali melihat dalam-dalam, di mana kutemui jawaban, tatkala sendiri dalam pikir dan dzikir mampu mengungkap rahasia hati. 

Yang sebenarnya adalah, aku tak pernah membutuhkan pekerjaan ini, aku hanya menginginkannya sebagai bentuk pembuktian, untuk mencari pengakuan, semacam 'oh Deby bisa lulus di sana. Ya wajar sih' . 

Aku tak benar-benar membutuhkannya, sebab sebelum namaku muncul sebagai peserta yang lulus seleksi administrasi, aku sudah menghitung langkah untuk resign kalau nanti diterima. 

Lihat, betapa jemawanya diriku kalau seandainya aku lolos tahap wawancara. Sudah pasti muncul rasa-rasa yang sebenarnya tidak perlu, seperti rasa bangga diri misalnya. 

Sebatas itu ternyata, yang aku butuhkan bukan pekerjaannya. Tapi eksistensi diri. Wajar Allah berikan posisi itu untuk orang lain yang lebih membutuhkan. 

Tak ada lain yang harus aku lakukan selain berbaik sangka kepada Allah. Sebab Allah maha luas pengetahuannya. Ia tahu mana yang baik dan tidak untuk hamba Nya. Bisa jadi Allah singkirkan aku dari perkara yang mungkin tidak baik untukku di masa depan. Allah jauhkan aku dari sifat berbangga diri, Allah jauhkan aku dari hal-hal yang mungkin menjauhkan aku dari mimpiku yang lain, mimpi-mimpiku yang lebih penting 😊 

Begitulah Allah, mengatur urusan hamba Nya dengan sangat teliti. Allah maha benar. 

Eh udah ya, dengan berakhirnya tulisan ini, berakhir jugaa kisah tentang PLN heheheh. Sampai saat ini, kata Papa, ada hikmah yang harusnya bisa aku bagikan. Bahwa kegagalan itu, mengantar kita menuju pintu-pintu keberhasilan yang lain. 

Masak air sampai mendidih
Untuk diminum ditengah kota
Perkara dunia jangan buat hati sedih
Sebab akhirat tujuan akhir kita

Tulisan di atas, adalah bagian dari usahaku membesarkan hati yang sempat menciut tiga hari lalu, kalaupun tak ada kebaikan yang bisa diambil, janganlah kotori hati kalian dengan buruknya prasangka.

Salam pisss lov n gawl 👋

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepag...

Setulus Cinta Ayah

Suatu sore di teras rumah  "Ayah, jika suatu hari aku menikah, laki-laki seperti apa yang pantas untukku?" Gea memecah suasana hening dalam permainan catur sore itu.  Ayah menghela nafas, kemudian tertawa sebelum menjawab "Yang bisa main catur lebih hebat dari ayah" Gea melempar pandangan nya ke wajah ayah.  "Banyak dong yah yang bisa main catur, serius ih"  "Skak mat!!! Yes ayah menang" ayah tertawa puas Gea makin jengkel.  "Putriku sayang, permainan catur adalah seperti menkalukan kehidupan. Bila ia punya strategi yang bagus, menanglah ia dalam permainan. Sama seperti hidup, bila ia punya misi yang jelas dalam mewujudkan visi nya, ia adalah pemenang. Tak kan di perbudak dunia. Permainan catur adalah bagaimana berfikir jeli dan jernih, melihat peluang tanpa tergesa-gesa. Sama seperti pada kehidupan. Semoga kau paham"  Ayah mengacak-acak rambut putri semata wayang nya yang beranjak dewasa. Gea bertan...

Rumah adalah

Mendengar kata 'pindah' yang pertama kali terbayang adalah 'adaptasi'  Adaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, bahkan mungkin kebiasaan baru. Jauh-jauh hari sebelum pulang, aku memikirkan hal itu. Meskipun menurut Ibu, aku ini orang yang senang berpindah, tapi jujur aku tidak suka dengan kata itu. Aku malas menjadi 'orang asing' di tempat baru. Terlebih itu rumah orangtuaku sendiri.  Tapi ajaib, berbeda dari pengalaman yang sudah-sudah. ternyata memang berpindah-pindah tempat kos jauh lebih menyebalkan dibanding pindah rumah.  Bahkan hei, tahukah? Sejak detik pertama aku menginjakkan kaki di tempat baru ini, aku tidak merasa menjadi 'orang asing'  Kakiku seperti sudah paham ke mana harus melangkah, seperti sudah hafal seluk beluk rumah ini.  Kini aku sadar, perkara rumah tak bisa disamakan dengan apa pun.  Karena rumah adalah tempat di mana aku menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kehidupan yang tidak ku dapat di luar sana.  ...