Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan katanya, bentuk cinta seorang ayah pada anaknya ditunjukkan jauh sebelum anak tersebut lahir; dengan memilihkan calon ibu yang baik misalnya.
Sebagai seorang anak, aku merasakan cinta ayah kepadaku begitu besar. Meskipun ayahku bukan superhero. Aku pernah menuliskan ini di salah satu catatan Facebookku (yang sudah hilang sejak setahun yang lalu), aku lupa judulnya apa. Inti dari tulisan itu 'Ayahku bukan lelaki tanpa celah, dia bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, tapi aku mencintainya' . Kami kadang berdebat, layaknya seorang musuh, aku pernah membencinya habis-habisan. Kami kadang berdiskusi, layaknya seorang teman, saling memberi semangat. Kami sering berbeda pendapat, aku maunya ini, ayah maunya itu. Aku benci ayah, kadang-kadang.
Eh, aku membenci ayah di banyak keadaan, sebenarnya. Salah satunya ketika aku harus menjalani tiga tahun hidupku di dunia perkuliahan yang tak pernah aku bayangkan bahkan di mimpi terburukku sekalipun. Aku membenci ayah ketika dia memaksaku melanjutkan jenjang pendidikan ke strata satu ketika aku telah berhasil melewati diploma tiga.
Aku lebih sering mengutuk keadaan dibanding bersyukur. Aku lebih banyak menyalahkan takdir dibanding intropeksi diri. Aku menyalahkan ayah ketika aku lagi-lagi jenuh dengan perkuliahan yang rasanya begitu susah untuk dijalani.
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri, adakah di muka bumi ini selain aku, yang merasa benci dengan apa yang tengah ia jalani?
Sementara aku mengeluh lelah, bosan dan jenuh dengan segala pernak pernik perkuliahan, di luar sana, ada banyak sekali anak seusiaku yang mungkin menginginkan kehidupan yang tengah aku jalani; menjadi seorang mahasiswi, tanpa perlu memikirkan cara membayar uang spp karena masih ada orang tua yang menanggung semuanya. Ada banyak sekali orang yang mengimpikan kehidupan yang kamu benci. Kamu bukan kurang beruntung, kamu hanya kurang bersyukur, Deb.
Dulu aku sempat berfikir, kenapa ayah harus mengatur ini dan itu. Kenapa ayah yang memilihkan 'akan jadi apa aku nanti' Kenapa ayah sejak kecil selalu memaksaku belajar ini dan itu, hal-hal yang tidak aku sukai. Kenapa ayah harus ikut campur dalam cita-citaku?
Untuk menyelami dalamnya fikiran seorang ayah, aku masih belum mampu, namun satu yang kini mulai aku pahami. Ayah punya cita-cita, dan cita-cita ayah sebenarnya sederhana, sangat sederhana sampai-sampai aku malu ketika tahu apa yang dia mau. Seorang ayah tidak pernah meminta lebih daripada kebahagiaan anak-anaknya, dan satu-satunya bekal agar anaknya mampu bahagia adalah ilmu. Ketika ayah terlihat seperti memaksakan kehendaknya, sebenarnya ia tengah berada dalam kecemasan. Mungkin dalam benak ayah; bagaimana bila anak yang merupakan amanah Allah itu menjadi jahil/bodoh? Bagaimana dia mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah?
Maka jika semulia itu cita-cita ayah, adakah aku ingin mewujudkannya?
Di penghujung perkuliahan ini, semoga belum terlambat. Aku ingin membuang semua benci yang ada di dalam hati, menggantinya dengan cinta. Karena belajar dari kalimat tauhid, kata Yasmin Mogahed bahwa untuk mengisi sesuatu kita harus mengosongkannya terlebih dahulu dari hal lain. seperti ketika kita meyakini keesaan Allah dengan 'meniadakan Tuhan' terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan pengakuan 'melainkan Allah' . semoga belum begitu terlambat, 'tiada perasaan apapun untuk teknik kimia, kecuali cinta' .
Jika cita-cita ayah tidak pernah berubah. Maka aku akan mengganti semua cita-citaku selama ini. Aku hanya ingin bahagia, agar cita-cita ayah terwujud.
Renungan #2ndDayOfRamadhan
Komentar
makasih ya twiin, sudah mampir dan meninggalkan jejak. *senangnya*