Langsung ke konten utama

Ketika Harus Memilih

Tak ada cinta yang tak diuji.

Bicara tentang cinta, aku atau kamu pasti punya definisi masing-masing. Tapi kita mungkin sepakat bahwa cinta akan meminta semuanya dari diri kita. Waktu, pikiran, perhatian dan semuanya.

kita mungkin mengalami keletihan dalam perjalanan kita mencintai sesuatu atau mencintai seseorang?   

Ditengah keletihan, kepayahan dan kesusahan kita mencintai sesuatu atau seseorang, muncul hal lain atau bahkan orang lain yang rasanya lebih mudah untuk kita cintai. 
coba bayangkan bila kita benar-benar berada di posisi itu, mana yang akan kita pilih? bertahan dengan segala keletihan atau memilih jalan cinta yang lebih mudah?

Mas Gun pernah bilang, bahwa ujian terberat adalah ujian kesempatan
ketika kita diberi kesempatan untuk mencintai sesuatu yang jauh lebih mudah, mungkin itu bagian dari ujian, untuk melihat seberapa kuat cinta yang kita punya. 

Saat kita mulai berpikir untuk memilih mengambil kesempatan baru yang rasanya terlihat lebih mudah, coba pikir lagi, dulu... dulu sekali, sebelum kita memutuskan untuk mencintai sesuatu, kita mungkin berpikir bahwa kita akan sanggup menjalaninya. Coba pikirkan juga, bagaimana jika-seandainya-bila nanti di tengah perjalanan baru kita, kesulitan kembali menyergap langkah kita, dan kesempatan baru datang lagi, apakah kita akan memilih kesempatan baru (lagi) ?

Coba pikirkan, akan sampai kapan kita terus lari dan mengejar segala bentuk 'kemudahan' semu yang kadarnya selalu berubah dari waktu ke waktu? Kapan kita bisa benar-benar memahami bahwa tak ada cinta yang tak diuji?

Percayalah, waktu tak sekejam itu menyiksa kita dalam ketidakberdayaan. Waktu tak akan melulu mengurung kita dalam keterpurukan. Di tangan Tuhan selalu ada kunci kemudahan. Kita hanya diminta bertanggung jawab menyelesaikan apa yang telah kita mulai.

Dari : Yang masih berusaha bertahan mencintai pernak pernik dunia per-teknik-kimia-an dan kamu..
Surabaya, Maret 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepag...

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan" (Imam Syafi'i) Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi. Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas.  Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung.  Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kemb...