Langsung ke konten utama

Hidupku Tidak Se-Fiksi Tulisanku

Senja datang
Matahari meski malu-malu bergerak perlahan
Mengantarkan hari menuju petang 

Kabarku baik,
Sebaik kabarmu yang perlahan menjauh

Kabarku baik, 
Masih mampu menarik bibir, membentuk lengkung senyum di pipi tirusku

Waktu, memang tidak pernah bisa menjanjikan apa-apa ya? 
Kemarin, aku kira cerita kita akan seperti kebanyakan dongeng yang aku tonton semasa kecil. 
Aku princess yang terjebak di labirin istanaku yang menjulang tinggi. 
Gelap, pengap, sepi dan dingin...

Aku kira kamu, prince yang akan meluruhkan kebekuan yang selama ini kupertahankan, merobohkan pertahanan dengan benteng keangkuhan yang kubangun bertahun-tahun,

Aku kira kamu, 
Ternyata bukan.. bukan kamu yang akan membawaku keluar dari labirin sepi ini, membawaku ke duniamu yang penuh petualangan~

Lucu ya, daya khayalku terlalu tinggi. Harusnya aku tahu sejak dulu, bahwa dongeng itu tidak pernah nyata. Cinta tidak semudah pangeran mencium putri tidur, lalu mereka hidup bahagia selamanya. Tidak juga seperti pangeran yang mencari pemilik sepatu kaca, lalu mereka bersatu dengan keajaiban-keajaiban yang ada. 

Harusnya aku sadar, hehe . Hidupku bukan dongeng, hidupku tidak boleh se-fiksi cerita-cerita yang kutulis. Karena sungguh, cerita fiksi itu bisa saja terlihat cantik, berkilau, menakjubkan dan lucu, tapi satu yang tidak aku sadari, ia rapuh. Fiksi itu rapuh karena ketidaknyataannya. Lalu aku, mengharapkan kisahku sama cantiknya dengan dongeng-dongeng fiksi itu...

Tidak lagi, sekarang tidak lagi. 
Kamu boleh pergi, aku anggap itu caramu menunjukkan cinta. Karena Ali bin Abi Thalib pernah bilang bahwa cinta itu merelakan atau mengambil kesempatan. 
Selamat jalan dan membangun kisah barumu. 

Aku?
Ah tenang, aku sudah biasa dengan kesepian yang menahun. Aku tidak mati terkurung sepi, pun merapuh. Biarlah aku menikmati masa sendiriku sebelum tiba masa berdua.



-suatu sore di Jakarta-

Komentar

sayfurrahman mengatakan…
Aku belum dapet jawaban dari pertanyaanku di dufan kemarin 😒
Deby Theresia mengatakan…
Aku lupa pertanyaannya hel wkwkw

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepagi itu aku terb

Rumah adalah

Mendengar kata 'pindah' yang pertama kali terbayang adalah 'adaptasi'  Adaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, bahkan mungkin kebiasaan baru. Jauh-jauh hari sebelum pulang, aku memikirkan hal itu. Meskipun menurut Ibu, aku ini orang yang senang berpindah, tapi jujur aku tidak suka dengan kata itu. Aku malas menjadi 'orang asing' di tempat baru. Terlebih itu rumah orangtuaku sendiri.  Tapi ajaib, berbeda dari pengalaman yang sudah-sudah. ternyata memang berpindah-pindah tempat kos jauh lebih menyebalkan dibanding pindah rumah.  Bahkan hei, tahukah? Sejak detik pertama aku menginjakkan kaki di tempat baru ini, aku tidak merasa menjadi 'orang asing'  Kakiku seperti sudah paham ke mana harus melangkah, seperti sudah hafal seluk beluk rumah ini.  Kini aku sadar, perkara rumah tak bisa disamakan dengan apa pun.  Karena rumah adalah tempat di mana aku menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kehidupan yang tidak ku dapat di luar sana.  Ka

Setulus Cinta Ayah

Suatu sore di teras rumah  "Ayah, jika suatu hari aku menikah, laki-laki seperti apa yang pantas untukku?" Gea memecah suasana hening dalam permainan catur sore itu.  Ayah menghela nafas, kemudian tertawa sebelum menjawab "Yang bisa main catur lebih hebat dari ayah" Gea melempar pandangan nya ke wajah ayah.  "Banyak dong yah yang bisa main catur, serius ih"  "Skak mat!!! Yes ayah menang" ayah tertawa puas Gea makin jengkel.  "Putriku sayang, permainan catur adalah seperti menkalukan kehidupan. Bila ia punya strategi yang bagus, menanglah ia dalam permainan. Sama seperti hidup, bila ia punya misi yang jelas dalam mewujudkan visi nya, ia adalah pemenang. Tak kan di perbudak dunia. Permainan catur adalah bagaimana berfikir jeli dan jernih, melihat peluang tanpa tergesa-gesa. Sama seperti pada kehidupan. Semoga kau paham"  Ayah mengacak-acak rambut putri semata wayang nya yang beranjak dewasa. Gea bertan