Langsung ke konten utama

Berhentilah Memaksa

Malam kian pekat ketika hujan membungkus sunyi. Derap langkah hujan di atas bumi menghapus segala sekat yang pisahkan kita, termasuk jarak. 

Kita telah sepakat bahwa hidup adalah pergiliran rasa. Kita tak pernah tau kapan akan jatuh, bersimpuh, terjerembab, kemudian bangkit. Kita tak bisa pastikan hari ini ada suka, luka, atau bahkan duka. 
Tidak. Sesekalipun kita tak bisa menebak, karena perputaran waktu tak pernah menjanjikan itu. Maka kita tak bisa mengeluh bila bahagia dan luka datangnya tak tepat waktu. 

Kita juga tak memegang tuas kendali, dan tak bertanggung jawab atas pedal yang menggerakkan roda perputaran rasa. Hingga bila seseorang jatuh, bukan kuasa kita untuk selalu menyambut dengan tangan membentang. Tiap kita punya kapasitas diri, tiap kita di anugerahi sepasang tangan. Bukan untuk menangkap sembarang harapan.

Maka, bila terlanjur aku atau bahkan kamu larut dalam pengharapan, kita tak bisa saling menjajikan rasa. Pun tak punya kuasa menawarkan luka, bukan? Jalani saja. Kita, satu sama lain tak berhak memaksa. Untuk kelak berakhir bersama. Karena takdir, ada di tangan Nya.

Hidup banyak melibatkan tanda tanya, sebagian diantaranya tak memiliki jawab. 
Hidup juga banyak melibatkan tanda koma, pada suatu masa kita diminta berhenti untuk kemudian melanjutkan langkah.
Hidup pun banyak melibatkan tanda titik, sebagai pemisah satu bagian dengan bagian yang lain. 

Dan kita, sering berhadapan dengan ketiganya.
Hingga kelelahan menggelayuti tiap jengkal langkah. 

Kita telah banyak belajar, dari seorang Ibu yang memberi tak harap kembali. Lantas kenapa bila kita mengasihi malah berharap rasa serupa dari dia yang kita beri? 
Kita banyak belajar dari sosok seorang ayah, wujud rasa yang terpenting adalah dalam bentuk laku. Lalu kenapa kita suka menterjemahkan rasa sebatas kata? 
Kita telah banyak belajar dari kehidupan, bahwa apapun yang berdiri di atas bumi tidaklah kekal. Lantas kenapa kita takut kehilangan bahkan pada sesuatu yang sama sekali bukan milik kita? 

Kita kadang terlalu jauh memandang ribuan langkah ke depan. Hingga sesederhananya rasa menjadi sulit diterima logika.

Komentar

Unknown mengatakan…
Sukaaa Sukaaa, kerenn ^^ 😄😄
Unknown mengatakan…
Pas deby.. knpa kita takut kehilangan sesuatu yg bukan milim kita... (ini yg sedang un rasa deb..)
Deby Theresia mengatakan…
Iya kan, Un. Padahal sejatinya kita tak pernah memiliki apa2 :"
Unknown mengatakan…
Ok agek aku omongi samo mas ono -_-

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepag...

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan" (Imam Syafi'i) Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi. Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas.  Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung.  Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kemb...

Setulus Cinta Ayah

Suatu sore di teras rumah  "Ayah, jika suatu hari aku menikah, laki-laki seperti apa yang pantas untukku?" Gea memecah suasana hening dalam permainan catur sore itu.  Ayah menghela nafas, kemudian tertawa sebelum menjawab "Yang bisa main catur lebih hebat dari ayah" Gea melempar pandangan nya ke wajah ayah.  "Banyak dong yah yang bisa main catur, serius ih"  "Skak mat!!! Yes ayah menang" ayah tertawa puas Gea makin jengkel.  "Putriku sayang, permainan catur adalah seperti menkalukan kehidupan. Bila ia punya strategi yang bagus, menanglah ia dalam permainan. Sama seperti hidup, bila ia punya misi yang jelas dalam mewujudkan visi nya, ia adalah pemenang. Tak kan di perbudak dunia. Permainan catur adalah bagaimana berfikir jeli dan jernih, melihat peluang tanpa tergesa-gesa. Sama seperti pada kehidupan. Semoga kau paham"  Ayah mengacak-acak rambut putri semata wayang nya yang beranjak dewasa. Gea bertan...