Langsung ke konten utama

Sekeping Rindu

Rindu itu kadang tak tau malu
datang dengan wujud sembilu
menohok relung-relung tak bercelah

rindu itu kadang tak tau malu
tak peduli yang dihampiri merasa pilu
meminta hak untuk berjumpa

rindu itu kadang tak logis
getaran hati di terjemah dalam tangis

rindu itu kadang datang terburu-buru
membuat ritme yang mengalun sendu
berubah menjadi gemuruh

rindu itu entah darimana datangnya
kenangan kadang jadi penyebabnya

rindu itu terlalu menuntut
meminta waktu berjalan perlahan
memutar kenangan dengan terurut


-Deby Theresia-

sekeping rindu untuk ketiga 'musuh' kesayanganku ; Dimas, Danda, Dandi
rasanya waktu berlalu terlalu cepat, kalian membujang kini tanpa kusadari, bocah-bocah kecil yang dulu selalu jadi teman adu mulut, berlomba mengencangkan suara untuk dapat perhatian lelaki yang bicara dibalik telepon ; papa. Bocah-bocah yang dulu jadi teman adu jontos, membuat mama berpura merajuk hingga mengunci diri di kamar. Bocah-bocah yang jadi teman setia, menghitam gersangkan kulit kita bersama mengayuh sepeda tak hiraukan peluh.
kalian, ah tiga tahun di rantauan membuatku rindu masa kanak-kanak kita yang begitu berwarna mulai dari merah, bekas telapak tangan yang melekat di paha. Biru, bekas gigitan di tangan sebelah kiri hingga ungu, bekas memar akibat jatuh dari gerobak opa
kita terlalu bahagia dulu, kita tak pernah berfikir akan ada jarak yang mengenalkan kita pada rindu, hingga kini kenangan terlalu perih untuk sekedar di ingat, menciptakan gerimis yang menyungai di sudut mata.
meski kini tubuh terasa kaku untuk sekedar saling peluk, lidah terasa keluh untuk mengucap rindu, tapi kalian tak pernah lepas dari dekapan do'a ku.




Komentar

nia mengatakan…
mbak lagi apo ?
Unknown mengatakan…
Aii lah besak galo adek kw by...
Trakhir dlu waktu SD masih kecik nian...
Hehehehehe


Ntip blog jg http://salingjingak.blogspot.com
Deby Theresia mengatakan…
Iy Dit, 9 tahun yang lalu kito SD :D 
Sudah di jingak blog ny :)

Postingan populer dari blog ini

Mula Sebuah Kisah

15 Juni 2016, Aku menatap layar ponselku, satu komentar baru tersemat di sebuah postingan lamaku yang berjudul Puisi Tak Bertuan.  "Happy birthday. Mungkin hari ini membuatmu bahagia, mungkin juga tidak. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dan semoga sisa umurmu lebih bermanfaat dan barokah"  Aku terdiam sejenak, dia menjejak lagi di laman komentar blog pribadiku masih dengan identitas yang disembunyikan, anonim. Seperti tak mengenal lelah akan abainya sikapku, ia mencoba berbagai cara hanya agar pesannya berbalas. Baiklah. Namun  harus kuakui dialah satu-satunya orang yang mendoakanku tepat di hari itu, selain kedua orang tuaku. Maka demi menghargai niat baiknya, kuucap terimakasih dan kubalas ia dengan doa yang sama. Semoga kebahagiaan selalu menyertai sepanjang hidupmu .  15 Juni 2018,  Hari itu bertepatan dengan 1 Syawal penanggalan kalender hijiriah di tahun 1439. Beberapa hari terakhir aku berteman dengan kesakitan bernama pening, sepag...

Puisi Tak Bertuan

Menjadi hujan... Aku adalah hujan Yang mungkin kamu benci Ketika aku turun tanpa permisi Membasahi lagi cucianmu yang nyaris kering Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Di teriknya siang di Surabaya Aku adalah hujan Yang katanya kamu sukai Tapi kamu lebih memilih berlindung di balik jendela kamarmu Aku adalah hujan Yang mungkin kamu tunggu Tapi kamu selalu berteduh, tidak menyambutku ramah Aku adalah hujan Yang tidak akan pernah lagi menyapamu Karena aku adalah hujan

Kepada Siapa kita Menghamba

"Jika kamu tidak tahan lelah nya belajar maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan" (Imam Syafi'i) Senin lalu, 9 Februari 2015 aku resmi menjadi mahasiswi lagi. Menjejakkan kaki di kampus perjuangan ada terselip kebanggan pada diri, padahal apalah arti diri ini tanpa campur tangan Illahi. Hari baru, minggu awal, aku berharap tak ada hal yang begitu berarti yang bisa membebani pundak ini. Tapi aku salah, minggu awal, hari baru telah dibuka dengan setumpuk tugas.  Di tengah teriknya matahari di senin siang, aku menghabiskan 3 jam jatah istirahat di perpustakaan pusat ITS. Menenggelamkan diri dalam dunia para pemikir. Seolah rakus ilmu aku menyambar beberapa buku karangan Himmelblau, Smith Van Ness, Geankoplis, Levenspiel. Teman baruku dengan antusias menerangkan rumus-rumus dalam buku-buku itu. Sementara aku termenung.  Aku merasa hidup bagai robot (lagi) sekarang, kembali berkutat dengan diktat kuliah, kembali bergelut dengan tumpukan buku-buku tebal, kemb...